MENGENAL DAN MENDEMOSTRASIKAN ADAT ISTIADAT ETNIS BETAWI
Video 1.6 Mengenal Sejarah dan Uniknya Palang Pintu
Sumber : https://youtu.be/m8jPZ9g3j1E?si=Qg0olQS_9wLakIo7
Assalamu'alaikum Wr. Wb. 🙏🏻
Hallooo everyone!!! 👋🏻👋🏻
Disini saya sedikit memberikan informasi terkait Mengenal dan Mendemostrasikan Adat Istiadat Etnis Betawi. Selamat menonton dan membaca! 💖
A. Sejarah dan Asal Usul Masyarakat Betawi
Sejak dahulu Kota Jakarta menjadi tempat pertemuan kelompok-kelompok etnis dari berbagai kawasan Nusantara ikut mewarnai dan mempengaruhi pertumbuhan kota, baik pada zaman pra kolonial, kolonial, maupun sesudahnya. Selain itu, Kota Jakarta pun memiliki arti penting bagi bangsa bangsa asing yang pernah meninggalkan sejarah di tempat ini. Dengan demikian, Jakarta berkembang dari interaksi antar berbagai ragam kebudayaan etnis di kawasan Nusantara dengan hampir seluruh kebudayaan tinggi dunia yaitu India Cina Islam dan Eropa ( Haris, 2007 :1 ).
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa etnis Betawi dikenal sebagai penduduk asli Kota Jakarta. Namun demikian, bila dibandingkan etnis Betawi di Jakarta dengan etnis lainnya di berbagai kota di Indonesia atau pulau Jawa tentu sangat berbeda. Misalnya di Jawa Barat, sebagai penduduk asli etnis Sunda masih terlihat mendominasi. Begitu juga dengan etnis Jawa di Jawa tengah dan Jawa timur. Di Jakarta sebagai penduduk asli etnis Betawi tidaklah dominan baik dari segi jumlah maupun perannya.
Wilayah DKI Jakarta yang ditempati oleh etnis Betawi juga sangat kecil etnis Betawi bermukim secara tersebar di Jakarta Bogor Depok, Bekasi, Karawang, dan Tangerang. Karena itulah kemudian muncul istilah Betawi Udik Betawi pinggir dan Betawi tengah.
Siapakah etnis Betawi sebenarnya? Menurut Shahab diperkirakan etnis Betawi baru terbentuk pada abad ke- 19 sekitar tahun 1815 - 1893. Anggapan itu didasarkan pada studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirilis oleh Lance Castle, sejarawan Australia. Dalam studi itu dinyatakan pada masa kolonial Belanda pemerintah selalu melakukan sensus penduduk yang didasarkan pada bangsa atau golongan etnis nya. Dalam data bangsa atau golongan etnis nya dalam data sensus penduduk Batavia tahun 1615 dan 1815 tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi adapun ends Betawi muncul sebagai kategori baru dalam data sensus penduduk tahun 1930. Dalam sensus tercatat jumlah etnis Betawi sebanyak 777. 953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu ( Castle, 2007:24 ).
B. Adat Istiadat Mayarakat Betawi
Secara garis besar, kebudayaan dan kesenian etnis Betawi tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh sebab itu, kesenian Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyat. Keberadaban masyarakat Betawi sebagai suku bangsa bisa disimak dari pengakuan mereka terhadap ciri-ciri budaya tertentu seperti bahasa, dialek, dan kesenian. Tiga yang dianggap penting dalam fase kehidupan orang Betawi, yaitu khitanan, kawinan, dan kematian.
a. Palang Pintu
Palang Pintu merupakan salah satu tradisi kebudayaan masyarakat Betawi dengan beradu silat dalam serangkaian acara pernikahan antara manten laki-laki dan perempuan. Palang pintusebagai salah satu rangkaian acara pernikahan adat Betawi yang nantinya akan diadakan berbagai macam pagelaran seperti seni music, adu pantun, adu silat, dan pembacaan shalawat serta pembacaan ayat suci Al -Qur’an.
Pada upacara pernikahan adat Betawi, Palang pintu termasuk dalam salah satu rangkain acara tersebut. Palang Pintu mempersembahkan Pantun dan Pencak Silat dalam pertunjukannya yang disajikan dalam upacara pernikahan adat Betawi. Palang Pintu itu sendiri memiliki arti dimana Digunakan sebagai syarat bagi Laki-laki yang akan menikah. Calon Laki-laki Betawi memiliki dua hal yang harus ada jika ingin menikahi calon wanita, yaitu mampu Silat sebagai Laki-laki yang akan melindungi istri dan anak-anaknya dan dapat mengaji karena Laki-laki akan menjadi imam untuk upacara keluarga mereka. Dengan miliknya Silat, pengantin Laki-laki mampu mengalahkan Laki-laki yang merupakan Palang Pintu dalam keluarga pengantin wanita. Hanya saja dalam acara tersebut mempelai Laki-laki digantikan oleh salah satu Laki-laki yang menjadi wakilnya sehingga kemampuan pencak silatnya tidak teruji dan banyak yang tidak paham bahwa ada syarat lain yang harus dikuasai oleh sang mempelai Laki-laki yaitu menjadi bisa membaca (Siregar & Irtawidjajanti, 2019).
Sejarah pada cerita Betawi zaman dulu yang dijumpai jawara main pukul di hampir setiap daerah yang berada di Kawasan masyarakat betawi. Zaman dulu masyarakat Betawi memiliki kisah dimana bila seseorang bepergian ke kampung lain, yaitu para Jagoan disana akan menguji kemampuan para pengunjungnya yang terkait hingga saat ini dengan nama Silat. Hal tersebut kemudian diaplikasikan oleh masyarakat Betawi di dalam prosesi adat pernikahan untuk menguji keseriusan pihak laki-laki.
Roswita (2013) mengatakan bahwa palang pintu memiliki beberapa unsur di dalamnya terdiri atas satu jagoan silat dari pihak perempuan dan dua jagoan silat dari pihak laki-laki serta juru pantun dari pihak masing-masing baik laki-laki ataupun perempuan. Beberapa tahapan dari prosesi Palang Pintu dapat dibilang cukup menarik. Sebelum rombongan dari pengantin Laki-laki berangkat menuju rumah pengantin perempuan, pengantin Laki-laki harus dilantunkan. Hal ini bertujuan untuk ibadah, karena pernikahan merupakan ibadah yang dianjurkan oleh agama.
b. Nyorog
Sama halnya dengan masyarakat Betawi yang terdapat di Kota Bekasi, dalam menyambut Ramadan dan menjelang Idul Fitri masih mempertahankan tradisi nyorog. Nyorog adalah kegiatan membagikan bingkisan ke anggota keluarga atau tetangga dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan dan menyambut Idul Fitri. Tradisi ini biasanya dilakukan orang yang lebih muda ke orang yang usiannya lebih tua.
Tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat Betawi di desa maupun di kota. Hal menariknya, tradisi ini mengandung banyak nilai-nilai kehidupan termasuk kehidupan rumah tangga. Peneliti tertarik dengan tradisi seperti ini pada masyarakat Betawi, Bekasi yang masih mempertahankan budaya tersebut. Peneliti berasumsi, terdapat sisi-sisi yang perlu digali baik sisi budaya, sosial, moral dan pendidikan. Termasuk di dalamnya bagaimana pandangan hukum keluarga Islam memandang fenomena budaya nyorog pada masyarakat Betawi di perkotaan.
Begitupun dalam tradisi nyorog yang dilaksanakan masyarakat Betawi Bekasi Jawa Barat. Terdapat keterkaitan antara budaya dan agama. Apalagi masyarakat Betawi dikenal sebagai masyarakat yang menjalan nilai-nilai agama yang diwariskan turun temurun kepada anak cucu. Apalagi tradisi ini, nyaris semua masyarakat Betawi, melaksanakan nyorog dalam menyambut bulan Ramadan dan Idul Fitri. Tradisi ini dilakukan dalam upaya memeriahkan dan meramaikan bulan yang dinantikan umat Islam (Ramadan) sekaligus menyambut hari raya besar yang dinantikan dalam setiap tahun sekali, yakni Idul Fitri.
Kegiatan nyorog dilakukan bukan hanya sesama masyarakat Betawi, masyarakat lainpun yang berbeda suku, akan melaksanakan tradisi ini, bahkan berbeda agama sekalipun.
c. Roti Buaya
Roti Buaya telah lama menjadi bagian dari tradisi dan kebudayaan masyarakat Betawi Sejak zaman kolonial Belanda. Roti Buaya terdiri dari sepasang roti berukuran besar, yang Secara asli bertekstur keras dan tidak mempunyai rasa sehingga tidak dimakan. Seiring Berjalannya waktu, Roti Buaya menjadi simbol kekayaan masyarakat Betawi karena Harganya yang mahal. Secara historis lambang buaya (putih) masuk ke dalam dunia Mitologi Betawi, maka kuatnya pengaruh budaya masyarakat Dayak dan Melayu Kalimantan Barat, yang menurut Prof. Nothofer, yang telah menetap di Jakarta setidaknya Sejak abad ke-10 Masehi. Mereka adalah faktor utama yang menyebabkan dan Menciptakan komunitas baru, yaitu masyarakat Betawi . Mitosnya, Arkian, Mahatara Adalah dewa utama orang Dayak. Mahatara memiliki 7 putri bernama Dewi Santang (mengingat nama Kyan Santang, putra Prabu Siliwangi setelah menikahi istri Muslim Nhay Subang Larang). Mahatara memiliki seorang putra bernama Jata. Wajah Si Jata berwarna merah dan kepalanya berbentuk seperti kepala buaya. Oleh karena itu, orang Dayak menganggap buaya sebagai hewan suci karena dianggap sebagai perwujudan dewa Jata.
Orang Dayak tidak membunuh buaya kecuali warganya ditelan buaya. Awalnya, asal usul roti buaya ini terinspirasi dari perilaku buaya yang hanya kawin sekali seumur hidup. Orang Betawi mempercayainya secara turun-temurun. Menurut Kepercayaan Betawi, roti juga merupakan simbol stabilitas ekonomi. Dengan harapan,selain saling setia, suami istri juga memiliki masa depan yang lebih baik, hidup berkelimpahan.
Oleh karena itu, tidak heran jika pada setiap prosesi pernikahan, pengantin pria selalu membawa sepasang kue buaya berukuran besar dan seberkas buaya kecil diletakkan di atas sanggul buaya yang melambangkan seekor buaya betina. Ini mencerminkan kesetiaan pengantin pria kepada pengantin wanita sampai mereka memiliki keturunan. Roti Buaya sendiri merupakan roti tawar atau tidak ada rasa sama sekali, roti tawar ini mutlak harus selalu ada di atas altar pemujaan menurut adat masyarakat Betawi, karena pada zaman dahulu roti tawar ini merupakan salah satu jenis makanan yang sulit ditemukan dan hanya bisa dimakan. Oleh orang-orang tertentu.
Roti buaya hadir ketika penjajah belanda datang ke Indonesia tepatnya di Batavia sekitar abad ke- 17 dan 18, sehinga menjadi awal muncul pertama kali roti buaya. Roti buaya muncul karena sebagai daya saing yang mana ketika penjajah Belanda memberikan seserahan yang berupa bunga atau cokelat, maka dari itu orang betawi yang ada di Batavia (Jakarta) memberikan seserahan berupa roti yang berbentuk hewan buaya karena konon dahulu daerah Batavia atau Jakarta pada saat itu, memiliki banyak buaya yang tersebar di 13 sungai yang mengairi wilayah Jakarta.
d. Bikin Rume
Bikin Rume atau mbikin rume (dalam bahasa Betawi) adalah serangkaian ritual adat yang dilakukan masyarakat suku Betawi ketika hendak membangun rumah. Ritual Bikin Rume, apalagi pada Orang Betawi tempo dulu, dianggap sakral, karena terkait dengan perhitungan, beberapa pantangan, hari baik, rezeki dan keselamatan bagi yang menempati rumah itu nantinya.
Persiapan sebelum membangun rumah Orang Betawi terlebih dahulu melakukan musyawarah antar sesama anggota keluarga. Dahulu kegiatan ini disebut Andilan. Topik yang dimusyawarahkan bermacam-macam, mulai dari jenis rumah yang akan dibangun, soal ketersediaan lahan, kebutuhan-kebutuhan apa saja yang perlu disiapkan, permohonan bantuan biaya pembangunan, sampai ritual-ritual kepercayaan nenek moyang mereka.
Permohonan Bantuan Biaya juga didiskusikan dengan serius. Biasanya yang hendak membangun rumah akan mengungkapkan taksiran biaya yang akan keluar. Setelah itu mereka memohon kepada keluarganya agar mau membantu meringankan biaya pembangunan. Biasanya keluarga akan menyanggupi, namun tentu saja sesuai dengan kemampuan masing-masing. Serta dibicarakan juga apa-apa saja yang sudah tersedia dan yang harus dipersiapkan, selain sudah tersedianya lahan yang di atasnya akan didirikan bangunan. Terkait poin bantuan biaya, tidak melulu bantuan berupa uang. Bisa juga material yang dibutuhkan. Bahkan ada juga yang memberikan pohon di pekarangannya untuk dijadikan, misalnya, tiang atau papan.
Kesimpulannya, adalah hal yang sangat krusia bagi Orang Betawi untuk meminta persetujuan atau pertimbangan anggota keluarga terlebih dahulu sebelum membangun rumah. Hasil Andilan menjadi rujukan untuk melaksanakan niatnya Bikin Rume.
Dalam Andilan juga dibicarakan soal kepercayaan nenek moyang orang Betawi ketika membangun rumah. Banyak kebiasaan yang merupakan kepercayaan nenek moyang mereka dahulu. Karena kebanyakan Orang Betawi sudah menganut Islam yang taat, maka penting pula didiskusikan kebiasaan-kebiasaan tersebut, mana yang boleh dilaksanakan, dan mana yang harus ditinggalkan. Beberapa kepercayaan atau ritual Orang Betawi di bawah ini tidak semuanya dilaksanakan dalam prosesi Bangun Rume.
Hari baik dan hari buruk juga dipercaya oleh Orang-orang Betawi. Sederhananya, jika hari itu baik, maka boleh mendirikan rumah. Jika dianggap hari buruk, maka pantang bagi Orang Betawi membangun rumah. Hari-hari yang dipantangkan adalah hari paing dan wage. Jika mulai dibangun pada hari paing, maka dikhawatirkan si pemilik rumah akan susah rezekinya. Jika pada hari wage, maka dikenal istilah rumah "tidak bakal ketungguin", atau dengan kata lain, sebelum rumah ditinggali, si pemilik rumah sudah telanjur meninggal.
Setelah sudah didapat hari yang tepat untuk membangun rumah, maka terlebih dahulu diadakanlah tahlilan, atau Orang Betawi menyebutnya Merowahan. Merowahan merupakan permohonan kepada Yang Maha Esa agar proses pembangunan rumah dilindungi atau berjalan dengan mulus. Para tetangga diundang untuk hadir dalam Merowahan. Dalam kesempatan ini ada sesi pihak pengundang memohon kepada tetangga untuk mau secara sukarela membantu proses pembangunan, seperti misalnya, menebang pohon atau meratakan tanah (Baturan dalam bahasa Betawinya). Bantuan tetangga ini disebut juga dengan Nyambat atau Sambatan.
Dan setelah rumah selesai dibangun sepenuhnya lalu dilakukanlah Upacara Selamatan Rumah. Selamatan atau Syukuran Rumah diisi dengan membaca doa selamat atau ucap syukur kepada Yang Maha Kuasa (ajaran islam jika beragama Islam) atas dilindunginya proses pendirian rumah. Setelah pengucapan doa, dilanjutkan acara makan-makan. Dalam acara ini diundang para tetangga, sanak keluarga dan terutama orang-orang yang terlibat dalam Sambatan.
Setelah upacara Selamatan Rumah dilaksanakan, diharapkan secara khusus si pemilik rumah mendapatkan keselamatan di rumah barunya itu dan secara umum selalu selamat dalam menjalani kehidupannya.
e. Lenong Betawi
Lenong merupakan kesenian Betawi yang mengandung berbagai unsur kebudayaan yang mewakili kehidupan masyarakat Betawi. Lenong merupakan teater rakyat Tradisional Betawi yang berisi pertunjukan silat, bodoran/lawak dan menggunakan musik Gambang Kromong dalam setiap pertunjukan. Sehingga Kesenian yang paling terkenal oleh masyarakat Betawi adalah pertunjukan lenong.
Cikal bakal lenong dimulai sejak pertengahan 1920-an dalam bentuk seni pertunjukan rakyat jalanan. Menurut Dananjaja, Lenong adalah proses teaterisasi dari perkembangan musik gambang kromong, yang kemudian ditambah unsur ”bodoran” berupa lawak tanpa rangka plot cerita. Rangkaian lawak tanpa plot cerita itu selanjutnya mengalami penambahan ”banyolan-banyolan” pendek yang terdiri dari beberapa adegan sehingga merupakan lakon yang belum utuh. Dalam pertunjukkan semalam suntuk, kesenian lenong ini berhasil membawakan lakon panjang yang terdiri dari puluhan adegan merupakan lakon utuh dan selesai.
Menurut Sedyawati, lenong mempunyai fungsi khusus terhadap masyarakat Betawi. Hadirnya teater lenong atau sering disebut dengan tradisi lisan tersebut biasanya membawakan kisah-kisah lokal. Biarpun kisah lokal namun bisa memiliki nilai global. Teater tradisional lenong tetap sebagai drama yang patut dilestarikan. Dalam teater tradional ini tetap menawarkan nilai-nilai baru yang mungkin lebih spektakuler, garapan teater tradisional tidak hanya menyangkut moral tetapi juga banyak upaya tentang bagaimana membuat penonton lebih betah dalam menyaksikan teater tradisional.
a) Jenis-jenis Lenong Betawi
Menurut Endo Suanda, dalam dunia seni pertunjukan, istilah gaya banyak mengacu pada ciri atau kekhususan suatu wilayah. Misalnya tarian gaya Minang, Jawa, Bali, Maluku, dan sebagainya. Adapun istilah jenis, mengacu pada ciri suatu bentuk atau kelompok kesenian, yang berada dalam suatu gaya. Dalam bahasa inggris istilah itu disebut genre. Keberagaman jenis Lenong sangat menarik untuk di perhatikan. Meskipun yang digambarkan sama, menggambarkan tentang sebuah cerita. Berikut adalah Macam-macam jenis Lenong. Lenong Betawi terdapat dua jenis lenong yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman.
b) Alat Musik Pengiring Lenong Betawi
Masyarakat Betawi mempunyai sebuah musik tradisional yang dinamakan Gambang Kromong. Secara etimologi Gambang Kromong berasal dari penyebutan alat musik yang dipergunakan yaitu Gambang dan Kromong. Sebuah ensambel Gambang Kromong terdiri dari alat musik Gambang, Kromong, Sukong, Tehyan, Kongahyan, Basing/suling, Ningnong, Jutao, Kecrek, Kempul, dan Gong. Musik Gambang Kromong yang sudah dikenal 9. Pada tahun 1880 pada waktu Bek Teng Tjoe (seorang kepala kampung atau wilayah pada saat itu) menyajikan musik tersebut untuk sebuah sajian penyambutan para tamunya.
f. Sunatan
Sunat dalam suku Betawi memiliki arti yang khusus yaitu sebagai proses atau etape pembeda. Maksudnya orang yang telah disunat harus bisa membedakan antara hak dan yang batil, membedakan antara dunia anak-anak dan dunia dewasa, karena telah akil balig, orang yang telah di sunat juga dianggap telah bisa menjaga diri dari perbuatan yang melanggar ajaran agama atau adat yang berlaku.Sebelum melakukan sunat, orang Betawi melakukan rembukan terlebih dahulu. Biasanya orang tua akan mengajak sesepuh kampung untuk meminta nasihat.
Hal yang di tentukan dalam rembukan adalah apakah anak sudah siap untuk di sunat, siapa bengkong (dukun sunat), serta kapan pelaksanaannya? Pelaksanaan upacara sunatan dibagi ke dalam 2 hari, hari pertama disebut sebagai hari membujuk atau menghibur pengantin sunat dan hari ke duanya hari pelaksanaan sunat.Pada hari pertama, setelah pengantin selesai dirias, pengantin sunat akan diarak keliling kampung dengan naik kuda atau bisa juga sang pengantin sunat diarak dengan duduk di kursi yang di angkat oleh orang dewasa berjumlah 4 orang. Di barisan paling depan ada ondel-ondel dan di barisan belakang ada teman-teman pengantin serta para tetangga yang ikut meramaikan. Tak lupa rebana ketimprung selalu mengiring sepanjang perjalanan.
g. Akeke (Aqiqaah)
Akikah (qiqah) dalam bahasa Betawi disebut akeke, yaitu upacara selamatan untuk anak yang baru dilahirkan dengan memotong kambing. Dilaksanakan paling cepat seminggu setelah kelahiran bayi dalam upacara ini kaget memotong rambut yaitu memotong atau mencukur rambut si bayi, dan sebagai tanda peresmian nama kepada si bayi, nama ini pun sudah diputuskan setelah mendapat nasehat dari Kiyai atau orang tua yang dihormati. Para tetangga yang mengetahui acara ini biasanya dead datang menjenguk dan mereka nyempal, yaitu menyelipkan uang di bawah pundak si bayi, ini maksudnya untuk membantu meringankan biaya pengurusan si bayi.
Akikah ini dilaksanakan sesudah sholat Dzuhur, tetapi umumnya sesudah sholat Isya agar tangga hadir semua. Upacara dimulai dengan tahlilan dilanjutkan dengan pembacaan Maulid nabi Muhammad SAW dari kitab Syaraf al Anam, adau addabai. Ketika pembacaan Maulid sampai sarakal ( asyrakal ), dibawa ke ruang Maulid untuk dicukur. Tradisi Betawi, menyatakan bahwa rambut yang dicukur dikumpulkan dan ditimbang, penimbangan dihitung dengan ukuran gram. Jumlah timbangan misalnya 5 gram, maka ayah si bayi akan membeli emas sebanyak 5 gram atau uang seharga 5 gram emas itu disumbangkan kepada yatim piatu dan orang miskin.
Jadi, kesimpulannya adalah Melalui pengenalan dan demonstrasi adat istiadat etnis Betawi kita dapat melihat betapa beragamnya budaya Indonesia, dengan tradisi tarian musik dan kuliner yang unik. Kita dapat mengenali dan mendemostrasikan adat etnis Betawi itu dengan cara untuk menghargai dan memelihara warisan budaya yang kaya dari generasi ke generasi. Adat istiadat Betawi juga mencerminkan nilai tradisional seperti solidaritas keluarga kebersamaan komunitas dan rasa hormat terhadap luhur yang dapat memberi inspirasi dalam kehidupan sehari-hari melalui demonstrasi. Adat istiadat etnis Betawi juga dapat memperkuat identitas budaya masing masing individu dan merasa bangga dengan akar budaya kita.
Itu saja dan terima kasih, semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb. 🙏🏻
Komentar
Posting Komentar