RESUME MATERI Agama, Manusia, dan Kenabian - PENDIDIKAN AGAMA KELAS 1F PGSD UHAMKA 2023 - ISTIANA KHOIRUNNISA (2301025125)


Bagian Ketiga
Agama, Manusia, dan Kenabian 

 
A. Mengenal Agama

Agama sesungguhnya tidak dan bukan urusan fisik. Oleh karena itu jika beragama itu hanya mengandalkan fisik, baik pengetahuannya maupun ‘amalnya, maka hal itu merupakan suatu yang absurd. Artinya untuk mengenal agama tidak perlu dengan definisi. Apalgi hanya definis tanpa pengenalan if’alnya. Pernyatân ini pula mengandung kefahaman bahwa jika seseorang hanya mengenal unsur fisiklynya, maka dia tidak akan bisa beragama. Begitu banyak, kalau dalam Islam, dalil yang mengingatkan bahwa Tuhan tidak menilik jasmniahlahiriah tetapi Tuhan memandang akan isi hati yang hadir di hadapan-Nya. 

Jika kembali ke garis awal bahwa agama itu tidak mengurus fisik, atau tidak sangkut paut dengan fisik, maka untuk menemukan agama jangan beroriantesi kepada sesuatu yang bersifat meteri. Sesungguhnya agama itu untuk mengurus wujud yang di dalam fisik. Wujud yang di dalam fisik itu disebut unsur “ruhaniyah”. Unsur ini yang datang dari Tuhan. Kepada wujud yang di dalam fisik inilah ajaran agama ditujukan. Oleh karena wujud yang di dalam fisik inilah yang “subyek” dalam beragama. Di dalam ajaran Islam, wujud yang di dalam fisik ini dikenal dengan nama “ruh’. Ia datang kemudian empat bulan sepuruh hari ke dalam rahim seorang ibu untuk menyempurnakan kejadian manusia yang sedang dikandung oleh seorang ibu tersebut. Ruh ini di zaman azalinya, atau di tempat asalnya disebut “mukmin”. Mukmin ini sebenarnya nama ruh sebelum bertugas ke dalam dada manusia. Inilah sebenarnya ushul atau sebab dari misi kenabian. Maka sebelum penulis kemukakan misi tunggal kenabian, akan dikemukakan di sini tentang mengenal insân dan Mu’min.

B. Mengenal Manusia dan Mukmin 

Jika manusia itu bukan tubuhnya, maka bahasan tentang manusia harus mengarah kepada sesuatu yang sifatnya non lahiriah. Maka nanti manusia itu tidak dapat untuk mewujud menjadi orang taqwa. Keduanya samasama non lahiriah, tetapi insân/manusia menunjuk orang yang tidak luput dari jeratan hawa-nafsu-dunia-setan. Khusus istilah manusia dan taqwa diungkap di dalam Q.s. al-Hujurât/49:13, bahwa manusia yang non fisik itu berasal dari yang fisik yaitu dari seorang laki-laki dan perempuan. Fisik yang laki-laki dan perempuan itu yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Ujung teks atau keterangan ayat ini menegaskan bahwa manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu tidak bisa mencapai kemuliân. Karena sifat kemanusiaan pada jasadnya yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu hanya sebagai instrumen saling mengenal. Sedangkan kemuliaan  itu dapat diraih dengan taqwa. Tentang taqwa ini pada bagian lain dalam buku ini dijelaskan, bahwa taqwa itu non definitif secara epistemic melainkan taqwa itu wujud dari dalam hati yang terpelihara. 

Jika suku-bangsa yang semestinya dijadikan instrumen untuk saling mengenal, lalu dijadikan bentuk lain seperti untuk saling meninggikan diri sendiri dan sukunya, untuk merendahkan suku-bangsa lain, untuk merendahkan suku-bangsa lain, untuk melapangkan jalan suku-bangsanya sendiri dan menggencet suku-bangsa orang lain, maka itu justru menjauhkan diri dari kemuliân. Sebab, perilaku yang demikian itu jauh dari taqwa. Artinya perilaku yang demikian menunjukkan jauh dari keterpeliharân diri, jauh dari sifat insân /manusia. Jika begitu apa manusia/insân itu.

Sebelum masuk pada kupasan manusia (insân/al-nâs), sesungguhnya jika taqwa sebagai instrumen utama kikisnya kebanggân kelompok, maka taqwa pada hakikatnya sebagai representasi sebuah kualitas, ialah kualitas kelapangan dada seseorang. Orang yang hidup dengan asumsi suku-bangsanya maka itu menandakan bahwa orang itu tidak berkualitas. Orang yang sempit dada selalu mepertimbangkan kelompoknya dalam berkeputusan. Yang seperti ini nuansanya tidak adil, sementara adil adalah jalan paling dekat kepada taqwa (i'dilû huwa aqrabu li al-taqwâ), seperti dalam Q.s. al-Mâidah/5:8,



“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan  kesaksian dengan adil karena Allah. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 
 
Maka jika ingin mewujudkan kualiatas, baik pada diri sendiri maupun pada suatu komunitas dan lingkungan tertentu, hendaknya dapat mengapresiasi spirit kemulian dengan taqwa ini. 

Merangkai penjalasan dari istilah manusia kaitan-nya dengan taqwa, maka sebenarnya untuk merajut instrumen menuju taqwa itu seseorang harus beranjak dari karakter kemanusiaan   itu. Sebab manusia sebagai sesuatu yang non fisik tidak bisa berlaku adil tetapi ia zhalim. Perspektif keterangan teks-teks Alquran manusia adalah sifat yang tidak pernah bisa baik. Manusia/insân itu pandangannya hanya satu yaitu kufur, negatif. Maka jalan taqwa sebenarnya justru berseberangan secara prontal dengan manusia/insân. Manusia itu sangat kufur (Q.s. al-Âdiyat/100:6), zhalim lagi bodoh (Q.s.al-Ahzâb/33:72), zhalim lagi sangat kafir (Q.s. Ibrahim/14:34).








“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”(al-ahzâb/33:72). 





“dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung satu nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim lagi sangat mengingkari (nikmat Allah)"(Q.s. Ibrahim/14:34).


“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir.” (alMa’ârij/70:19-21) 
 


Manusia itu pembangkang tidak mau menjadi orang yang beriman. Intinya manusia itu adalah sifat kufur. Maka orang yang memakai sifat manusia/insân dia tidak mempan diberi peringatan. Baginya sama saja apakah diberi peringatan atau tidak, tidak ada bedanya. 





“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (Q.s. al-Baqarah/2:6). 
 
Di dalam kitab suci Alquran terma al-insâ/al-nâs diungkap tidak kurang dari 159 kali. Semua teks tersebut menjelaskan bahwa insân/manusia itu bukan fisik tetapi substansi kufr. Sebenarnya ia asal kejadiannya dari unsur-unsur pada tubuh manusia. Artinya manusia itu mengiringi unsur-unsur atau bahan penciptân tubuhnya. Seperti disebutkan dalam sebuah hadis bahwa, “innallâha khalaqa al-insâna min arba’ati asyyâ` min al-rîkhi wa al-mâ`i, wa al-thîni, wa al-nâri, sesungguh-nya Allah menjadikan manusia itu dari empat unsur yaitu angin, air, tanah, dan api.

Jika kita tilik empat unsur itu adalah saripatinya merupakan bahan untuk tubuh manusia. Saripati keempat unsur itu dibahasakan oleh teks-teks Alquran sebagai “sulâlatun min al-thîn dan sulâlatun min mâ`in mahîn”. Awal mula kejadian manusia itu dari tanah (Q.s. alsajadah/32:7)









Saripati tanah itu kemudian yang menjadi saripati air yang hina. Disebut air hina bukan karena air mani itu najis. Bahkan menurut ilmu fiqh air mani tidak najis dan tidak wajib bersuci jika memegangnya. Juga tidak pula membatalkan wudlu` sekiranya dalam keadân berwu-dlu` memegangnya. 


“Maka hendaklah manusia memikirkan asal kejadiannya. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan. yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” 

Dia yang menyuruh manusia itu memikirkan asal kejadiannya. Penjelasan bahwa ia dicipta dari air yang tepancar yang keluar dari tulang sulbi pada laki-laki dan tulang dada perempuan. Baru kemudian bersebut dia air mani, yang ianya merupakan saripati tanah. Ada apa dengan saripati tanah itu?

Di dalam saripati tanah yang dipancarkan dari tulang punggung/sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan itu telah terdapat empat anasir seperti dijelaskan hadis di atas. Ternyata bukan empat unsur itu yang berubah wujud menjadi substansi kufur, tetapi pada empat unsur terdapat rahasia yaitu ruh-ruh yang mengiringi masing-masing anasir tersebut yaitu: Rahasia angin bernama rûh raihân, dia yang mengadakan hawa, yaitu sifat pantang kelintasan. Hawa itu ada pada kita karena anasir angin telah memenuhi seluruh rongga pada tubuh kita.

Rahasia air bernama rûh rahmâni, dia yang mengadakan nafsu, yaitu sifat pantang kerendahan. Nafsu ada pada kita karena anasir ari telah menjadi urat, benak, dan tulang pada kita.

Rahasia tanah bernama rûh jasmânî, menjadi dagingkulit-bulu/roma pada kita, dia yang mengadakan dunia, yaitu sifat pantang kekurangan. Dunia ada pada kita karena anasir tanah telah menjadi daging, kulit, dan bulu atau roma pada kita.

Kemudian rahasia api bernama rûh idlâfi, dia yang mengadakan setan, yaitu sifat pantang kalah. Setan ada pada kita oleh karena anasir api telah menjadi darah pada kita.




 “dan aku bersumpah dengan diri yang amat me-nyesali (dirinya sendiri).” 

Nafs ammâraṯ ini muncul dari menyatunya sifat pantang kerendahan pada nafsu dan sifat pantang kalah pada setan. Wujud yang tampak pada manusia ialah sikap emosional, mudah marah dan mudah tersinggung. Sedangkan nafs lawwâmat muncul dari menyatunya sifat pantang kelintasan pada hawa dan sifat kekurangan pada dunia. Wujud tersembunyi pada manusia, yaitu sifat ‘ijib (bangga diri), riyâ` (minta dipuji), iri-dengki-hasud, fitnah, tamak-loba, takabbur-sombong.

Jadi wujud tubuh yang tampil dengan sifat seperti di atas itulah wujud diri yang menjadi manusia. Sekali lagi manusia itu bukan fisik tetapi non fisik. Dia adalah “the soft negatif eksistention” sebagai wujud yang secara prontal dan mutlak berseberangan dengan îmân. Îmân itu adalah kepercayân Allah. Dialah yang dizinkan Allah dan diberi kuasa menggerakkan jasad sebagai tempat landingnya. 

Kedua, mengenal “mukmin”. Kebanyakan kita sebelum ini mengkaitkan sebutan mukmin dengan komunis orang Islam dan dengan identitas tertentu. Atau bahkan kabur sama sekali tentang wujud mukmin itu seperti apa. Apaka orang Islam dengan kartu identitasnya, atau dalam bentuk apa.

Dalam kajian hikmah, untuk mengenal mukmin kita harus mengenal îmân yaitu sosok kepercayân Allah yang sedangan eksis dalam tubuh manusia. Sedangakan seseorang disebut beriman (mu'min) ketika imannya atau si imân itu aktif berhubungan dengan Tuhan. Berhubungan dengan Tuhan itu artinya shalât. Ternyata yang shalât itu adalah mukmin tidak manusia/insân. 




Berhubungan yang dimaksud di atas ialah ingat (dzikr) secara hakikat. Dzikr sebenarnya inti atau sisi terdalam dari pengertian shalâṯ yang dapat diartikan hubungan. Oleh karena itu dengan makna shalâṯ  seperti ini maka harus ada shalâṯ dalam rukun sembahyang yang tigabelas, dalam puasa dan seterusnya.


Sebenarnya saat mendirikan shalatlah kita dikumpulkan di tempat shalat. Di tempat itu pulalah diri yang dalam hati ini dipisah dari penyakitnya. Awas, saat shalat tidak sekedar sembahnyang. Kalau hanya melaksanakan rukun sembahyang yang tigabelas tapi tidak ada hubungan hati kepada Tuhan, maka tidak shalat namanya. Tuhan menunjuk tempat di mana penyakit dalam hati itu dicabut.

Si îmân yang dapat berhubungan dengan Tuhannya inilah diri yang mempuasakan manusia/insân. Yaitu diri yang menahan dirinya untuk tidak memakai sifat manusia (hawa-nafsu-dunia-setan). Dialah si îmân yang sesungguhnya menurut Q.s. al-Syûrâ/42:52 di atas adalah rûh.

Maka, dalam menghubungkan diri itulah kita ditolong oleh Allah. Karenanya hati kita terpelihara dari kekufuran/insân/manusia. Maka dengan itu kita menjadi orang yang taqwa. Jadi sebenarnya manusia tidak bisa dan tidak akan pernah bertaqwa atau memelihara diri. Justru insân/manusialah yang merusak ketaqwân. Tetapi yang bertaqwa atau yang dapat memelihara diri itu adalah mu’min yaitu îmân atau rûh yang aktif menghubungkan dirinya dengan Tuhan sebagai asal kejadiânnya. 

C. Misi Tunggal Kenabian

Oleh karena ruh ini berkedudukan kepercayân Tuhan atau wujud yang dipercaya Tuhan untuk menyempurnakan kejadian manusia, maka Tuhan seperti memberikan konvensasi, ayitu dengan mengutus para auliya-anbiya ke permukân bumi. Para auliya ini adalah manusia biasa yang hatinya ditunjuk atau diberikan hidayah oleh Tuhan. Abu Dzar menyampaikan keterangan Rasulullah bahwa para auliya-anbiya itu di utus Tuhan sebanyak 124.313 sampai nabi Muhammad.

Adapun misi tunggal kenabian adalah mengenal kaumnya untuk mengen dirinya dan mengenal Tuhannya, serta membawa kaum itu datang kepada Tuhannya. Bagian yang penting dari Tugas para auliya-anbiya ini adalah bahwa mereka mengenalkan tempat berjumpa dan bertemu Tuhan kepada kaum mereka. Misi ini tidak dibeda-bedakan di antara mereka. 



Teks ini nanti berhubungan dengan penenalan terhadap manusia atau insân dan mukmin pada bagian lain dalam buku ini. Bahwa yang dibaca itu adalah kitab yang sertakan dengan ditiupkannya ruh atau mukmin. Mukmin itu sengan beada dalam dada manusia. Pada mukmini itu ada kitab, oleh karena kepada mukmin dianugerhkan nikmat atau dzat atau rasa. Dzat yang dianugerahkan Allah inilah yang berfungsi sebagai kitab oleh karena ia mencatat semua tindak dan kata ruh pada tubuhnya. Maka aktualisasi dari qaûl pertama di atas adalah harus merujuk ke Q.s. al-Isrâ`/17:14. 



Padahal pada surat yang sama ayat 48 ditegaskan bahwa Muhammad tidak pernah membaca dan tidak pernah menulis dengan tangan kanan. Ternyata pada yang yang 49, bahwa kitab yang diperintah baca itu adalah ayat yang nyata di dalam dada bagi orang-orang yang diberitahu. Berikut teks-teks yang dimaksud Q.s. al-‘Ankabût/29:45, 48, 49: 












Inilah sesungguhnya misi semua auliya-anbiya. Sebagai konvensasi atas ditugaskannya ruh ke dalam jasad manusia, Tuhan mengutus para utusannya. Sehingga ruh yang telah menjadi manusia di dalam dada manusia itu dapat menilai dirinya atas semua perilaku dalam tindak dan katanya. Kemudian misi puncak dari seluruh para auliya-anbiya itu adalah supaya ruh itu menjadi kembali. Lalu secara seragam isntrumen kebaikan itu adalah bahwa semua kaum para auliya-anbiya itu dikenalkan kepada temoat di mana hati mereka dapat diurus Tuhan, yaitu Baitullah. Para auliya-anbiya mengenal tempat itu dan membawa kaumnya ke baitullah itu secara hakikat. Artinya buken fisik mereka yang dibawa ke sana, melainkan wajah dirinya berupa ingatan. 

Komentar