TEORI BELAJAR KOGNITIVISME
Gambar 2.3 Implementasi Teori Belajar Kognitivisme dalam Pandangan Jean Piaget dan Jerome Bruner
Assalamu'alaikum Wr. Wb. 🙏🏻
Hallooo Semuanyaaa!!! 👋🏻👋🏻
Disini saya sedikit memberikan informasi terkait Teori Belajar Kognitivisme. Selamat membaca! 💖
A. Pengertian Teori Kognitivisme
Pengertian istilah “kognitif” berasal dari kata “knowledge” yang mirip dengan “knowledge” yang berarti mengetahui. Dalam arti yang luas kognition/kognisi ialah perolahan penataan, penggunaan pengetahuan (Muhibbin, 2005: 65). Teori belajar kognitif menekankan pada proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Baharudin menerangkan teori ini lebih menaruh perhatian dari pada peristiwa-peristiwa Internal. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon sebagaimana dalam teori behaviorisme, lebih dari itu belajar dengan teori kognitivisme melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks (Nugroho, 2015: 290).
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif leih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya (Bahruddin, dkk. 2012: 87). Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Berbeda dengan model pembelajaran behavioral yang mengkaji pembelajaran hanya sebagai respon terhadap suatu stimulus, model pembelajaran kognitif merupakan salah satu bentuk teori belajar yang sering disebut model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku sesorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Perubahan Belajar merupakan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebaigai tingkah laku yang Nampak (Nurhadi, 2018: 7; Baharuddin, 2015: 167).
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi berkaitan dengan konteks keseluruhan situasi. Mengisolasi atau membagi suatu situasi/masalah menjadi bagian-bagian kecil dan memeriksanya secara terpisah akan menggagalkan tujuan. Menurut teori ini, belajar merupakan proses internal yang melibatkan memori, penyimpanan, pengolahan informasi, emosi dan aspek psikologis lainnya. Belajar merupakan suatu kegiatan yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Pembelajaran yang berkesinambungan antara lain meliputi pengaturan dan adaptasi stimulus yang diterima terhadap struktur kognitif yang telah diperoleh dan dibentuk berdasarkan pemahaman dan pengalaman seseorang sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh j.piaget, advance organizer oleh ausubel, pemahaman konsep oleh bruner, hirarki belajar oleh gagne, webteacing oleh norman dan sebagainya (Budiningsih, 2015: 34).
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas (Given, 2014: 188).
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terusmenerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya (Nugroho, 2015: 291).
Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Teori kognitivisme mengungkapkan bahwa belajar yang dilakukan individu adalah hasil interaksi mentalnya dengan lingkungan sekitar sehingga menghasilkan perubahan pengetahuan atau tingkah laku. Dalam pembelajaran pada teori ini dianjurkan untuk menggunakan media yang konkret karena anak-anak belum dapat berfikir secara abstrak (Nurhadi, 2018: 9).
Dalam teori ini ada dua bidang kajian yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar, yaitu (Suyono, el. 2011: 75):
1. Belajar tidak sekedar melibatkan stimulus dan respon tetapi juga melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
2. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Menurut psikologi kognitivistik, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu dengan jalan mengaitkan pengetahuan baru kedalam struktur berfikir yang sudah ada. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktekkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga, pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukkan keberhasilan mempelajari informasi pengetahuan yang baru (Muhaimin, dkk. 2012: 198).
Teori ini juga berasumsi bahwa belajar adalah pengorganisasian aspek kognitif dan persepsi untuk mencapai pemahaman. Dalam model ini, perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya. Sementara itu, situasi yang berkaitan dengan perubahan tujuan dan perilaku sangat ditentukan oleh proses berpikir internal yang terjadi selama pembelajaran. Pada prinsipnya, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat dilihat sebagai tingkah laku (tidak selalu dapat diamati) (Warsita, 2016: 69). Dalam teori ini menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian dari situasi yang terjadi dalam proses belajar saling berhubungan secara keseluruhan. Sehingga jika keseluruhan situasi tersebut dibagi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah, maka sama halnya dengan kehilangan sesuatu (Muhaimin, dkk. 2012: 199).
Sehingga dalam aliran kognitivistik ini terdapat ciri-ciri pokok. Adapun ciri-ciri dari aliran kognitivistik yang dapat dilihat adalah sebagai berikut:
1). Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia;
2). Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian;
3). Mementingkan peranan kognitif;
4). Mementingkan kondisi waktu sekarang; 5). Mementingkan pembentukan struktur kognitif (Nugroho, 2015: 291).
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk representatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semua tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya (Nurhadi, 2018: 11; Yamin, dkk, 2013: 25).
B. Tokoh-tokoh Teori Kognitivisme
Tokoh dari teori tersebut antara lain Jean Peaget, Bruner, dan Ausebel, Robert M. Gagne. Pembahasanya sebagai berikut:
1. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget.
Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi (Suparno, 2016: 11). Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu (Jauhar, 2011: 13-14; Suyudi, dkk, 2013: 108).
Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik (Ibda, 2015). Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan (Dalyono, 2012: 37).
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah: Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Anakanak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik (Ibda, 2015). Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya (Pahliwandari, 2016: 159).
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic, artinya proses yang didasarkan atas mekenisme biologis dari perkembangan system syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, makin komplek susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya (Muhaimin, dkk. 2012: 199). Sehingga ketika dewasa seseorang akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget membagi proses belajar kedalam tiga tahapan yaitu (Nurhadi, 2018: 13; Winfred F Hill, 2010: 157):
1. Asimilasi
Proses pengintgrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada (John, 1969: 9).
Contoh: seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami oleh anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak) (Nugroho, 2015: 295).
2. Akomodasi
Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Penerapan proses perkalian dalam situasi yang lebih spesifik (Wijayanti, 2015: 85).
Contohnya: siswa ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya memberikan sebuah soal perkalian (Georgia (2010: 254).
3. Equilibrasi
Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan roses penyeimbang (Wijayanti, 2015: 86). Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur, sedangkan dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis (Nurdyansayah, 2016: 50).
Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses penyesuaian, pengembangan dan pengintegrasian pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang sebelumnya. Inilah yang disebut dengan konsep schema/skema (jamak = schemata/schemata). Sehingga hasil belajar/ struktur kognitif yang baru tersebut akan menjadi dasar untuk kegiatan belajar berikutnya (Warsita, 2016: 70). Proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui oleh siswa yang terbagi kedalam empat tahap, yaitu (Winfred F. Hill, 2011: 160-161; Erawati, dkk, 2014: 70):
1. Tahap sensorimotor (anak usia lahir-2 tahun).
2. Tahap preoperational (anak usia 2-8 tahun) (Suyudi, dkk, 2013: 108).
3. Tahap operational konkret (anak usia 7/8-12/14 tahun).
4. Tahap operational formal (anak usia 14 tahun lebih) (Muhibbin: 68).
Secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berfikirnya. Karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya, serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut (Dalyono, 2012: 39; Nugroho, 2015: 298).
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap-tahap lainnya. Oleh karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya (Pahliwandari, 2016: 159).
2. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jarome Bruner.
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan. Sehingga, perkembangan bahasa memberi pengaruh besar dalam perkembangan kognitif (Hilgard dan Bower, 1981; Muhaimin, dkk. 2012: 200).
Menurut Bruner untuk mengajarkan sesuatu tidak usah menunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya (Pahliwandari, 2016: 160).
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi, tetapi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka, artinya menuntut adanya pengulangan-pengulangan. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (Free Discovery Learning). Dengan kata lain, belajar dengan menemukan (Nurhadi, 2018: 15; Nugroho, 2015: 292).
Implikasi Teori Bruner dalam Proses Pembelajaran adalah menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya. Dari implikasi ini dapat diketahui bahwa asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman didalam dirinya yang tertata dalam bentuk struktur kognitif, yang kemudian mengalami tahap belajar sebagai perubahan persepsi dan pemahaman dari apa yang ia temukan (Budiningsih, 2015: 40-41).
Teori ini menjelaskan bahwa proses pembelajaran akan berjalan baik dan kreatif apabila guru membiarkan siswa menemukan kaidah (termasuk konsep, teori, definisi, dan lain-lain) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) kaidah sumbernya. Dari pendekatan ini “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Siswa diberikan suatu informasi umum dan diminta untuk mencari contoh-contoh khusus dan konkrit. Menurut bruner ada 3 tahap dalam perkembangan kognitif, yaitu (Warsita, 2016: 72):
1. Enaktif: usaha/kegiatan untuk mengenali dan memahami lingkungan dengan observasi, pengalaman terhadap suatu realita.
2. Ikonik: siswa melihat dunia dengan melalui gambar-gambar dan visualaisasi verbal.
3. Simbolik: siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika dan penggunaan symbol.
Keuntungan belajar menemukan (Free Discovery Learning): 1). Menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga dapat memotivasi siswa untuk menemukan jawabannya; 2). Menimbulkan keterampilan memecahkan masalahnya secara mandiri dan mengharuskan siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi (Pahliwandari, 2016: 161).
3. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel.
Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru (belajar menjadi bermakna atau meaning full learning). Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap (Budiningsih, 2015: 43): 1). Memperhatikan stimulus yang diberikan; 2). Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami; 3). Meaning full learning adalah suatu proses dikaitkannya.
Menurut Ausebel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (Advanced Organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu: 1). Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari. 2). Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. 3). Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah (Nugroho, 2015: 293).
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Guru juga harus memiliki logika berfikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat, serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami (Mulyati, 2015: 80).
4. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Robert M. Gagne.
Menurut gagne belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pengolahan otak manusia: 1). Reseptor; 2). Sensory register; 3). Short-term memory; 4). Long-term memory; 5). Response generator.
Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv adalah teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut (Nurhadi, 2018: 17):
1. Reseptor (alat indera)
Menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian di teruskan.
2. Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris)
Yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang dalam system.
3. Short term memory (memory jangka pendek)
Menampung hasil pengolahan perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.
4. Long Term memory (memori jangka panjang)
Menampung hasil pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja.
5. Response generator (pencipta respon)
Menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.
C. Kelebihan dan Kelemahan Teori Kognitivisme
Setiap teori pembelajaran harus dibandingkan dengan teori pembelajaran lainnya. Selain itu, masing-masing teori pembelajaran melengkapi dan melengkapi kekurangan teori-teori pembelajaran yang telah dikemukakan para ahli sebelumnya. Teori pembelajaran kognitif memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut (Nurhadi, 2018: 19):
1. Kelebihan, yaitu:
a. Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri : Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.
b. Sebagian besar dalam kurikulum pendidikan negara Indonesia lebih menekankan pada teori kognitif yang mengutamakan pada pengembangan pengetahuan yang dimiliki pada setiap individu.
c. Pada metode pembelajaran kognitif pendidik hanya perlu memeberikan dasar-dasar dari materi yang diajarkan unruk pengembangan dan kelanjutannya deserahkan pada peserta didik, dan pendidik hanya perlu memantau, dan menjelaskan dari alur pengembangan materi yang telah diberikan.
d. Dengan menerapkan teori kognitif ini maka pendidik dapat memaksimalkan ingatan yang dimiliki oleh peserta didik untuk mengingat semua materi-materi yang diberikan karena pada pembelajaran kognitif salah satunya menekankan pada daya ingat peserta didik untuk selalu mengingat akan materi-materi yang telah diberikan.
e. Menurut para ahli kognitif itu sama artinya dengan kreasi atau pembuatan satu hal baru atau membuat suatu yang baru dari hal yang sudah ada, maka dari itu dalam metode belajar kognitif peserta didik harus lebih bisa mengkreasikan hal-hal baru yang belum ada atau menginovasi hal yang yang sudah ada menjadi lebih baik lagi.
f. Metode kognitif ini mudah untuk diterapkan dan juga telah banyak diterapkan pada pendidikan di Indonesia dalam segala tingkatan (Burhanuddin, https://afidburhanuddin.wordpress.com, 2018).
2. Kelemahan, yaitu:
a. Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
b. Pada dasarnya teori kognitif ini lebih menekankan pada kemampuan ingatan peserta didik, dan kemampuan ingatan masing-masing peserta didik, sehingga kelemahan yang terjadi di sini adalah selalu menganggap semua peserta didik itu mempunyai kemampuan daya ingat yang sama dan tidak dibeda-bedakan.
c. Adakalanya juga dalam metode ini tidak memperhatikan cara peserta didik dalam mengeksplorasi atau mengembangkan pengetahuan dan cara-cara peserta didiknya dalam mencarinya, karena pada dasarnya masing-masing peserta didik memiliki cara yang berbeda-beda.
d. Apabila dalam pengajaran hanya menggunakan metode kognitif, maka dipastikan peserta didik tidak akan mengerti sepenuhnya materi yang diberikan.
e. Jika dalam sekolah kejuruan hanya menggunakan metode kognitif tanpa adanya metode pembelajaran lain maka peserta didik akan kesulitan dalam praktek kegiatan atau materi.
f. Dalam menerapkan metode pembelajran kognitif perlu diperhatikan kemampuan peserta didik untuk mengembangkan suatu materi yang telah diterimanya (Kharisma, https://www.scribd.com/doc, 2018).
D. Aplikasi Teori Kognitivisme dalam Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpihak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan (Syah, 2013: 109). Dalam menemukan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut (Budiningsih, 2015: 43-44):
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik terutama jika mendengarkan benda-benda kongrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah memiliki si belajar.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa pelu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa (Pahliwandari, 2016: 161).
Dalam praktiknya serial learning dan free recall learning terdapat beberapa cara (Chatib, 2014: 8-9): (a) organisasi atau penyusunan misalnya dengan menyusun daftar informasi yang akan dipelajari menjadi kategori yang mempunyai arti dan mudah diingat, (b) metode loci, artinya tempat. Ialah metode alat bantu mengingat dimana seorang membuat gambaran pikiran yang berkaitan dengan tempat-tempat tertentu, (c) irama, metode mengingat dalam bentuk nyanyian. Misalnya untuk mengenalkan urutan rukun Islam atau rukun iman dengan nyanyian (Sutiah, 2015: 114; Nugroho, 2015: 299).
Jadi, kesimpulannya, yaitu:
1. Definisi Teori Kognitivisme
Teori Kognitivisme adalah Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya.
2. Tokoh-tokoh Kognitivisme
Tokoh-tokoh Kognitivisme, yaitu Jean Piaget, Jarome Bruner, Ausebel, dan Robert M. Gagne.
3. Kelebihan dan Kelemahan Teori Kognitivisme
Kelebihannya, yaitu: menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Kelemahannya, yaitu: teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
4. Aplikasi Teori Kognitivisme dalam Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.
Itu saja dan terima kasih, semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb. 🙏🏻
Komentar
Posting Komentar