MENGENAL KEHIDUPAN ETNIS BETAWI (PART 1)
Gambar 1.9 MENGENAL KEHIDUPAN ETNIS BETAWI
Assalamu'alaikum Wr. Wb. 🙏🏻
Hallooo everyone!!! 👋🏻👋🏻
Disini saya sedikit memberikan informasi terkait MENGENAL KEHIDUPAN ETNIS BETAWI. Selamat membaca! 💖
PART 1
A. Sejarah Etnis Betawi
Sejarah Etnis Betawi melalui berbagai pendapat para ahli. Hal ini dilakukan karena permasalahan utama dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan pendapat antara Lance Castles dan Ridwan Said mengenai etnis Betawi. Tentu saja penting untuk menyampaikan pendapat para ahli lainnya, walaupun yang berbeda pendapat hanyalah Lance Castles dan M. Junus Melalatoa, hal ini dilakukan untuk menjaga imparsialitas dan juga untuk memenuhi pendapat keduanya yang tersisih. para ahli Pendapat para ahli disajikan apa adanya, dilanjutkan dengan interpretasi penulis pada bagian akhir.
1. Pendapat Lance Castles
Betawi merupakan etnis yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, dan kultur. Warna-warni ini membawa aneka persepsi, tafsiran, dan pemahaman tentang Betawi, baik dari segi penduduk asli, kultur, maupun kebudayaan. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah berbagai suku bangsa dan bangsa asing. Beberapa penelitian tentang masyarakat Betawi mengatakan bahwa kebudayaan Betawi sarat akan pengaruh dari Belanda, Cina, Arab, India, Portugis, dan Sunda.
Pada tahun 1619, ketika Belanda menaklukkan kota Jakarta dan menetapkan kota Batavia sebagai basis utama mereka di Hindia Timur, kawasan di pantai utara tengah Jawa Barat ini berpenduduk jarang dan terbatas. dari dua kesultanan, Banten dan Cirebon. Demi alasan keamanan, pejabat kota Batavia melarang penduduk pedalaman (yang mereka sebut "orang Jawa" entah orang Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Sunda) untuk menetap di dalam dan sekitar kota. Di sisi lain, penduduk kota ini dipenuhi penduduk dari daerah yang jauh dari Batavia selama dua abad. Jan Pieterszoon Coen mengawali kebijakan ini dengan mendorong orang Tionghoa dan Bandanis yang ditaklukkan untuk menetap di Batavia (de Haan, 1935:371).
Penghuni bebas lainnya termasuk suku "Moor" (Muslim India Selatan), Melayu, Bali, Bugis, dan Ambon. Namun, jumlah penduduk Batavia kuno umumnya melebihi jumlah budak. Awalnya Belanda mendatangkan budak-budak tersebut dari kawasan Asia Selatan, yakni Pantai Coromandel, Malabar, Benggala dan Arakan, Burma.
Lambat laun terutama setelah East India Company meninggalkan basisnya di Arakan (1665) nusantara menjadi sumber budak yang penting. Dalam perkembangan selanjutnya, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Nias, Kalimantan dan Pampanga di Luzon juga terlibat dalam perolehan budak. Namun sumber utama yang terus memasok budak adalah Bali dan Sulawesi Selatan (de Haan, 1935: 349; Lekkerkerker, 1918: 409).
Karena rendahnya tingkat kesehatan Batavia, khususnya pada abad ke-18, maka perlu dilakukan peningkatan jumlah penduduk dari luar wilayah Batavia secara terus-menerus. Pada kuartal terakhir abad ke-18, 4.000 budak diimpor setiap tahunnya, dan pada masa Raffles hanya seperempat budak yang lahir di sini (de Haan, 1935: 350). Hal ini menjelaskan mengapa beberapa kelompok masyarakat di Batavia cepat menghilang ketika pendatang baru tidak datang.
2. Pendapat M. Junus Melalatoa
Suku Betawi merupakan suku bangsa yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah DKI Jakarta yang merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat. Suku bangsa ini juga sering disebut dengan sebutan “Orang Betawi”, “Melayu Betawi” atau “Orang Jakarta” (atau orang Jakarta menurut dialek setempat). Nama Betawi berasal dari kata Batavia yang diberikan oleh Belanda pada masa penjajahan. Suku Betawi mempunyai latar belakang sejarah yang terbentang cukup lama. Lebih dari 400 tahun yang lalu, masyarakat Betawi yang kemudian menjadi masyarakat yang kita kenal sekarang ini merupakan hasil proses asimilasi.
Masyarakat dan kebudayaannya merupakan hasil percampuran unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dari berbagai bangsa dan suku dari berbagai daerah di Indonesia (Melalatoa, 1995: 160). Jakarta, sebagai tempat di pesisir pantai, berkembang menjadi kota pelabuhan dan komersial sepanjang sejarahnya. Kota ini kemudian menjadi pusat administrasi, politik dan bahkan salah satu pusat pendidikan Indonesia. Sifat dan karakteristik kota Jakarta menjadikannya sebagai arena percampuran berbagai suku bangsa di Indonesia bahkan berbagai kebangsaan dari berbagai belahan dunia.
Mereka mempunyai kepentingan yang berbeda dan juga dari latar belakang budaya yang berbeda. Dari asimilasi tersebut muncullah suatu masyarakat dan kebudayaan baru bagi penduduk kota Jakarta yang kemudian dikenal (Melalatoa, 1995: 160). Masyarakat “Orang dan Betawi” merupakan kelompok etnis yang membaur dan menciptakan budaya baru ini pada era yang berbeda. Ada orang Portugis, Cina, Belanda, Arab, India, Inggris, Jerman; dan dari wilayah Indonesia seperti Jawa, Malaya, Bali, Bugis, Sunda, Banda dan lain-lain. Spektrum kelompok etnis yang ditambahkan kemudian semakin bertambah.
Kemudian diketahui bahwa berbagai unsur budaya tersebut digabungkan menjadi satu kesatuan budaya yang disebut budaya Betawi. Kombinasi ini tercermin dalam bahasa, kepercayaan, seni, teknologi seperti pakaian, makanan, dll. Misalnya budaya Betawi yang sarat dengan unsur budaya Portugis, terutama dari segi bahasa.
B. Pengucapan Bahasa Etnis Betawi
Pengucapan bahasa etnis Betawi memiliki kepentingan yang tidak bisa dilewatkan. Bahasa Betawi merupakan bahasa kreol yang dituturkan oleh suku Betawi, yang merupakan suku etnis yang mendiami daerah Jakarta. Bahasa Betawi berbeda dari bahasa Indonesia, yang digunakan sehari-hari. Pengucapan bahasa Betawi juga memiliki kosakata, tata bahasa, dan pengucapan yang berbeda, yang membuat komunikasi antarbudaya lebih sulit. Namun, bahasa Betawi memiliki keunggulan dalam mudahnya digunakan untuk berkomunikasi dengan suku-suku bangsa lain. Pengucapan bahasa Betawi tidak hanya memiliki kepentingan dalam komunikasi antarbudaya, tetapi juga dalam pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya Betawi. Bahasa Betawi adalah warisan budaya yang harus dipertahankan dan dipromosikan, agar suku Betawi dapat mengerti dan bertahan dengan kebudayaan yang kaya dengan nilai-nilai yang unik dan beragam. Berikut adalah contoh dari pengucapan Bahasa Betawi.
1. Penyebutan huruf a menjadi e: Bahasa Betawi biasanya memiliki ciri khas sendiri lewat logat bicara, yaitu penyebutan huruf a menjadi e.
2. Akhiran /-in/ untuk mengganti sufiks /-i/, /-kan/, dan /-lah/ pada bahasa Indonesia: Bahasa Betawi memiliki kosakata yang berbeda dari bahasa Indonesia, yang membuat komunikasi antarbudaya lebih sulit.
3. Kembaran kata: Bahasa Betawi memiliki kembaran kata, yang berbeda dari bahasa Indonesia.
4. Penggunaan kata "kenape/kenapa" (mengapa): Dalam bahasa Betawi, kata ini terdiri dari huruf "é" (dalam bahasa Latin), sedangkan dalam dialek Betawi pinggir, kata tersebut terdiri dari huruf "a".
5. Penggunaan kosakata yang berbeda: Bahasa Betawi memiliki kosakata yang berbeda dari bahasa Indonesia, seperti "bahle" (musibah), "besila" (melipat kedua kaki), "bilik" (anyaman bambu), "emok" (duduk bersimpuh dengan kedua kaki menyamping), "jatoin" (menjatuhkan, menurunkan), "menenteng" (menjinjing), "ngongkong" (membuka kaki lebar-lebar), "pesen" (pesan), "selonjorin" (luruskan), "centong nasi" (sendok nasi), "endok" (mengambil), "gegeni" (menghangatkan tubuh), "kemaruk" (menggigit), "kemelekeran" (kekenyangan), "nyarap" (sarapan), "nyeruput" (menghirup), "nyiplak" (berdecak-decak di saat makan), "tembem" (pipi yang gemuk), "tenggak" (tidak bergerak), "bares" (suka memberi), "biang" (induk), "bobok" (bongkar), "cukeng wangkeng" (keras hati), "kikir" (sama sekali tidak mau memberi), "melid" (jika diminta memberi sedikit), "medit" (sukar sekali memberi), "perimpen" (hemat, irit), "royal" (sangat dermawan), "serenceng" (sebaris).
C. Fase Kehidupan Orang Betawi
Fase Kehidupan Orang Betawi adalah representasi dari berbagai tahap atau periode yang dialami oleh individu dalam masyarakat Betawi, yang merupakan masyarakat asli Jakarta, Indonesia. Fase-fase ini meliputi perjalanan dari kelahiran hingga kematian, beserta berbagai peristiwa dan tradisi yang terkait dengan setiap tahap kehidupan. Adat hidup yang banyak dipengaruhi oleh agama Islam mengajarkan mereka untuk lebih memperhatikan hari kematian. Ini adalah ritual yang kaya akan unsur keagamaan.
1. Khitanan
Budaya khitanan selalu diadakan dengan suka cita dan meriah oleh masyarakat Betawi.
Khitanan, yang juga dikenal sebagai sunat bagi orang Betawi, merupakan upacara pemotongan kulit penis anak laki-laki yang telah mencapai masa pubertas dengan ukuran tertentu. Menurut tradisi Betawi, jika seorang anak laki-laki telah mencapai pubertas tetapi belum disunat, maka ibadah shalatnya dianggap tidak sah.
Anak laki-laki yang telah "dipersembahkan" untuk menjalani khitanan disebut sebagai penganten sunat. Seperti dalam pernikahan tradisional Betawi, penganten sunat juga diberikan perlakuan istimewa, seperti mengenakan pakaian adat lengkap dan diarak keliling kampung dengan kuda hias, diiringi oleh teman-teman sebaya dalam delman hias.
Acara khitanan dihiasi dengan musik rebana ketimpring dan pengalunan shalawat serta lagu-lagu tradisional lainnya. Para tetangga dan penduduk kampung juga turut serta dalam mengiringi penganten sunat. Hidangan utama dalam khitanan biasanya terdiri dari nasi kuning, serondeng, bawang goreng, dan emping ninjo. Selain itu, tontonan seni tradisional seperti lenong, topeng, Sohibul hikayat, dan wayang kulit menjadi daya tarik bagi para tamu undangan, menjadikan acara ini sangat meriah dan ramai. Boneka raksasa yang mencerminkan akulturasi budaya Hindu dan ondel-ondel juga turut beraksi dalam upacara ini.
2. Perkawinan
Ritual sakral berikutnya yang diperlakukan oleh masyarakat Betawi ketika mereka memasuki fase kehidupan dewasa adalah pernikahan. Upacara pernikahan dalam budaya Betawi dianggap sebagai salah satu bagian penting dari siklus kehidupan. Upacara ini merupakan tindakan resmi yang diatur secara khusus untuk menandai peristiwa penting yang memiliki makna spiritual, bukan sekadar aktivitas sehari-hari, tetapi memiliki hubungan dengan kepercayaan yang melampaui kekuatan manusia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara pernikahan, kedua mempelai dipersiapkan secara khusus, termasuk tata rias wajah, sanggul, dan pakaian adat lengkap, sesuai dengan tradisi sebelum dan setelah pernikahan.
Tujuan pernikahan ini, menurut pandangan masyarakat Betawi, adalah untuk memenuhi kewajiban yang mulia yang diamanahkan kepada setiap individu dewasa dalam masyarakat yang memenuhi syarat. Mayoritas masyarakat Betawi yang beragama Islam meyakini bahwa pernikahan adalah bagian dari sunnah (tradisi) umat, sehingga dianggap sebagai perintah agama untuk melengkapi norma kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan ciptaan Tuhan yang Maha Mulia.
Sistem pernikahan dalam masyarakat Betawi pada dasarnya mengikuti hukum Islam, menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh dinikahi. Dalam pencarian pasangan hidup, baik pria maupun wanita memiliki kebebasan untuk memilih. Namun, persetujuan orang tua dari kedua belah pihak sangat penting karena mereka akan membantu melaksanakan pernikahan tersebut.
Pernikahan dalam adat Betawi memiliki serangkaian tahapan, mulai dari lamaran, pertunangan, seserahan, hingga akad nikah. Pada hari pernikahan, calon pengantin pria datang bersama keluarga untuk menuju rumah pengantin wanita. Saat ini, seringkali akad nikah dilangsungkan di rumah pengantin wanita. Hal menarik dalam adat pernikahan Betawi adalah penyambutan oleh pengantin wanita sebagai tuan rumah. Petasan dan musik rebana disiapkan untuk menyambut kedatangan para tamu.
Ketika pengantin pria tiba bersama keluarganya, petasan dinyalakan bersamaan dengan musik rebana yang memainkan lagu shalawat. Pengantin pria biasanya juga membawa berbagai hidangan khas Betawi seperti buah-buahan dan roti buaya, yang melambangkan kesetiaan. Dengan demikian, diharapkan bahwa kedua pengantin akan saling setia sebagaimana buaya yang hanya berpasangan sekali seumur hidup.
3. Kematian
Berbeda dengan khitanan dan pernikahan yang diadakan dengan meriah, ritual kematian tidak dirayakan secara semarak dan meriah. Kemungkinan karena sifat ritual sakral kematian ini lebih berkaitan dengan Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta, maka ritual tersebut dijalankan dengan khidmat dan penuh hikmah. Tradisi di daerah Betawi berbeda dari tempat lain.
Ketika seseorang meninggal, keluarga menyelenggarakan pembacaan Al-Quran yang durasinya tergantung pada usia dan status ekonomi keluarga yang meninggal. Jika keluarga yang meninggal termasuk kelas menengah ke atas, pembacaan ayat suci Al- Quran dilakukan selama tujuh malam berturut-turut, sering kali di makam. Namun, ada juga yang melanjutkan hingga empat puluh hari dan empat puluh malam, terutama jika keluarga yang meninggal termasuk keluarga terhormat. Namun, peristiwa ini sekarang jarang terjadi.
Komentar
Posting Komentar