PENGAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR KELAS III DAN IV


Gambar 1.6 Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah Dasar (SD)


Assalamu'alaikum Wr. Wb. 🙏🏻

Hallooo everyone!!! 👋🏻👋🏻

Disini saya sedikit memberikan informasi terkait PENGAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR (SD). Selamat membaca! 💕

A. PANTUN

Salah satu jenis sastra Indonesia (kuno) yang masih hidup dan berkembang adalah pantun. Pantun merupakan salah satu jenis sastra yang populer di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu,tidak tepat jika pantun dinilai sebagai salah satu materi mata pelajaran sastra di sekolah, khususnya di kelas III dan IV. Pantun dapat digunakan sebagai alat pengajaran atau sebagai bahan lelucon. Jenis sastra Pannun tidak terlalu diprioritaskan sebagai bahan ajar sastra Indonesia. Namun keadaan demikian dapat memberikan gambaran bahwa siswa kelas III dan IV mengapresiasi karya sastra berjenis pantun.

Ciri-ciri pantun, yaitu:

1. Bersajak ab ab.

2. Jumlah baris tiap bait ada 4.

3. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran.

4. Baris ketiga dan keempat merupakan isi.

5. Jumlah suku kata tiap baris ada 8-12.

Dalam buku Belajar Berbicara Bahasa Indonesia, bahan ajar tertulis tipe pantun 4B SD IV terkesan sangat mendidik. Melalui metode seperti itu, siswa diajar secara terorganisir. Siswa mempelajari ciri-ciri pantun untuk memudahkannya dalam membuat pantun. Imajinasi anak perlahan-lahan dibimbing untuk memahami apa sebenarnya pantun itu. Berbeda dengan buku yang digunakan untuk siswa kelas III berjudul Bina Bahasa Indonesia SD Kelas III Semester 3A (2004: 11), penyajian pantun sebenarnya sangat sederhana.

Perbedaan antara pantun dan puisi di dalam buku Ayo Belajar Berbahasa Indonesia (ABBI 4B, 2004:24-25) diberikan pengertian, yaitu:

Pantun dan puisi merupakan karya sastra yang menekankan keindahan bahasa, namun puisi lebih bebas bentuknya. Puisi bukan tentang rima, jumlah baris dalam tiap bait, dan jumlah suku kata dalam setiap baris.

Uraian dan petunjuk perbedaan pantun dan puisi dapat membantu siswa memahami kedua jenis karya tersebut, terutama dalam imajinasinya. Tapi apakah cocok dengan kemampuan siswa kelas empat? Pertanyaan ini mengemuka karena metode pengajaran ini sangat teoritis dan terkesan “dipaksakan”, padahal pemahaman teori sastra oleh siswa kelas IV masih terbatas.

B. PUISI

Selain puisi, puisi diajarkan di kelas III dan IV di sekolah dasar. Puisi sebagai bahan ajar sungguh menarik untuk diberikan kepada siswa kelas ini. Berdasarkan seluruh buku yang digunakan, tampaknya apresiasi puisi sudah berkali-kali dimasukkan sebagai bahan ajar dalam sastra Indonesia. Menghargai puisi dalam buku Ayo Belajar Bahasa Indonesia Kelas III SD 3A (2004:33-34) diawali dengan membaca puisi, mendiskusikan pesan yang terkandung di dalamnya dan susunan kata dalam puisi tersebut. Pembelajaran berupa pengenalan bagi siswa sekolah dasar kelas III ini tentunya disesuaikan dengan pemahamannya terhadap puisi.

Pelajaran sastra Indonesia (apresiasi puisi) di dalam buku Ayo Belajar Berbahasa Indonesia untuk Kelas III Sekolah Dasar 3A (2004:44-45) dilakukan dengan mengapresiasi lagu perjuangan. Perintahnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Membaca atau menyanyikan puisi lagu.

2. Menjawab pertanyaan.

3. Menuliskan dan menyanyikan lagu perjuangan.

Jika diperhatikan, pembelajaran sastra Indonesia pada nilai-nilai lagu perjuangan “Maju Tak Gentar” karya C. Sirnanjuntak sangatlah strategis, karena selain ilmu sastra, anak juga mendapatkan nilai-nilai perjuangan (nasionalisme). Nasionalisme yang umumnya diabaikan oleh generasi muda saat ini, coba ditanamkan dan diwariskan hingga kelas tiga dalam pembelajaran ini. Bahkan, untuk menemukan kecintaan siswa terhadap negaranya dengan memberikan tugas (menulis dan menyanyikan lagu pertarungan), para siswa diberi tugas untuk menulis puisi tentang lagu pertarungan selain “Lebih Menakutkan”.

Lagu “Maju, Bukan Gentar” disusun sebagai puisi yang lurus. Artinya, kata-kata yang tersusun dalam puisi tersebut dipilih dari kata-kata yang sederhana dan mudah diingat. Hal ini sejalan dengan maksud dan tujuan diciptakannya lagu tersebut, yaitu untuk membangun semangat juang, mengusir penjajah. Dengan demikian siswa tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami puisi dihadapkan pada soal-soal. Puisi sederhana seperti “Jangan Takut” sangat cocok dijadikan bahan ajar dunia anak.

Pembelajaran apresiasi puisi melalui resitasi merupakan strategi yang sangat baik bagi siswa karena resitasi menuntut siswa untuk merasakan kebahasaan puisi. Dengan kata lain, fungsi emosi siswa dibimbing agar lebih memahami maksud puisi. Namun karena tidak dijelaskan konsep resitasi, maka guru wajib memberikan informasi dan contoh agar siswa memahami istilah tersebut dan mengikutinya sesuai petunjuk. Pelajaran mengaji akan lebih efektif bila tidak dilakukan sekali saja. Oleh karena itu, pelajaran tajwid diulangi dalam konteks yang sama (lihat ABBI 3A, 2004: 85). Namun pada pelajaran kali ini, petunjuknya diperluas dengan petunjuk untuk menyederhanakan puisi. Tugas atau petunjuk tersebut dapat menunjang kemampuan siswa dalam memperkaya penalarannya (berbahasa).

Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami puisi, buku Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas III SD 3A (2004:97-1 00) memberikan siswa pembelajaran membuat atau menulis puisi sederhana, keterampilan, dan lingkungan.

Dari petunjuk yang diberikan kepada siswa dalam pembelajaran, terlihat jelas bahwa guru diberi kebebasan untuk mendorong mereka mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk puisi. Dengan cara ini (jangan takut melakukan kesalahan) siswa diharapkan berani mengungkapkan pemikiran khayalannya terhadap apa yang dilihatnya. Dorongan ini sangat positif karena meningkatkan kejujuran siswa dalam mengemukakan pendapat melalui Bahasa tulis (puisi). Contoh yang diberikan juga sangat sugestif, sehingga siswa mudah mengikuti petunjuk yang diberikan guru.

Pelajaran puisi dalam buku Bina Bahasa Indonesia semester I kelas 3 SD (2007: 60- 61) agak berbeda. Yang diberikan dalam Pembelajaran Berbicara Bahasa Indonesia Kelas III Sekolah Dasar 3A dan 3B (2004). Pada Bina Bahasa Indonesia Kelas III SD, pembelajaran puisi dilakukan dengan cara (a) melihat gambar dan membaca puisi, (b) menyelesaikan puisi yang belum selesai, (c) membaca puisi yang sudah disiapkan, dan (d) menulis puisi. Berdasarkan gambar.

Keempat metode ini sangat berguna bagi siswa, terutama untuk mengembangkan imajinasinya. Tidak semua siswa mampu membayangkan dan menjelaskan pemikirannya dengan baik dalam Bahasa tulis (puisi) yang memadai. Melalui butir (a) kemampuan siswa dibangkitkan secara perlahan dan terarah, sehingga harapan terciptanya puisi lebih mudah terwujud. Puisi berjudul “Sahabat” yang di sebelahnya bergambar anak berkelahi dapat dikembangkan karena puisi yang dijadikan tema sangat berbeda dengan gambar yang dijadikan ilustrasi. Dengan cara pembelajaran seperti ini, pada perkuliahan teori sastra, siswa secara tidak langsung diajarkan bahwa makna karya sastra sangatlah ambigu. Oleh karena itu, melihat dan membaca puisi bergambar merupakan Solusi yang baik bagi anak kelas III SD untuk memahami puisi. Dengan mengamati gambar, siswa mudah memahami makna puisi “Sahabat”. Cara ini sangat berguna karena pada pembelajaran selanjutnya mereka harus meningkatkan keterampilannya dengan puisi yang belum selesai.

Itulah sebabnya tidak semua siswa memiliki imajinasi yang baik. Selain melihat puisi bergambar, siswa diminta menulis beberapa kata atau kalimat yang belum lengkap pada puisi tersebut sebelum akhirnya meminta siswa untuk menyelesaikan dengan baik dan melengkapi puisi tersebut.

Selain mengisi kekosongan puisi dengan kata-kata kunci, buku ini juga memberikan petunjuk cara membuat puisi berdasarkan gambar. Dalam buku Bina Bahasa Indonesia SD III Kelas III Semester I (2007:75) terdapat gambar sekelompok anak (putra dan putri) sedang bermain lompat tali dengan ekspresi. Di sebelah gambar terdapat kolom berjajar yang harus diisi siswa dengan puisi berdasarkan gambar tersebut. Para siswa kemudian diminta untuk mengelompokkannya dan membuat judul beritanya sendiri. Dengan model seperti itu, siswa mempunyai kebebasan untuk bebas mengembangkan imajinasinya dalam membuat judul. Kebebasan seperti ini sangat bermanfaat bagi siswa karena siswa tidak merasa tertekan atau terpaksa dalam memberikan kesan sesuai dengan keinginan guru. Dengan kebebasan tersebut siswa diajar baik secara kelompok maupun individu, sehingga diharapkan mereka berani mengemukakan pendapatnya.

Metode ini memudahkan dalam memulai belajar membuat puisi dan mendapatkan hasil sangat bagus dan efektif bagi siswa. Jika cara ini tidak diberikan hanya satu kali saja (sesuai materi buku teks), maka siswa pasti akan mampu mengerjakan tugas-tugas sederhana dengan lebih cepat. Apabila guru rajin atau sering memberikan tugas serupa dengan materi lain, maka tidak heran jika apresiasi siswa terhadap sastra (puisi) dapat menjadi materi pembelajaran yang sangat menyenangkan. Selain menulis puisi, siswa juga mendapat kebanggaan dan keberanian untuk mempublikasikan karyanya melalui media yang ada seperti majalah dinding.

Jika puisi sederhana sudah siap, siswa harus membaca dan menafsirkannya. Proses ini merupakan salah satu cara untuk menunjang keberanian siswa dalam mempresentasikan presentasinya. Apabila seorang siswa dapat membaca puisi dengan baik dan menghayatinya sampai akhir, berarti ia mempunyai keberanian untuk mengemukakan pendapat mengenai puisi tersebut.

C. FIKSI

Cerita fiksi merupakan sebuah karya sastra yang menceritakan kejadian tidak nyata atau imajinatif dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Berbeda dengan karya nonfiksi yang menceritakan suatu kejadian nyata dan ada hubungannya dengan peristiwa yang bersifat faktual. Menurut Altenberd dan Lewis (seperti dikutip dalam Nurgiyantoro, 2018) fiksi bisa disebut sebagai prosa naratif yang sifatnya imajinatif, di dalamnya terdapat hal-hal yang masih dapat diterima akal sehat serta bermakna kebenaran dengan mendramatisasi hubungan antara individu.

Dengan demikian cerita fiksi menceritakan tokoh-tokoh, latar dan peristiwa yang imajinatif namun masih mengandung masalah mengenai manusia dan kehidupan. Di dalamnya terdapat berbagai permasalahan kehidupan dengan interaksinya antara individu dengan individu, individu dengan lingkungan, individu dengan dirinya sendiri dan individu dengan Tuhan. Pada cerita fiksi sebagai sebuah karya totalitas, memiliki bagian-bagian serta unsur-unsur yang memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya (Nurginyantoro, 2018, h.29).

1. Ciri-Ciri Cerita Fiksi

Berdasarkan praktiknya, cerita fiksi memiliki karakter dan ciri khasnya sendiri sebagai karya sastra, yaitu:
a. Sifatnya adalah rekaan atau cenderung mewujudkan imajinasi dari pengarangnya.

b. Dalam cerita fiksi ada kebenaran dan tidak mutlak.

c. Fiksi umumnya memakai sifat konotatif dan bukan sebenarnya.

d. Cerita fiksi tidak ada sistematika baku di dalamnya.

e. Karya fiksi umumnya menyasar pada emosi dan perasaan dari pembaca, bukan pada logikanya.

2. Jenis – Jenis Cerita Fiksi

Dengan cakupannya yang luas, cerita fiksi memiliki beberapa jenis bentuk teks yaitu:
a. Cerita Jenaka
Cerita jenaka adalah cerita yang lucu dan membuat orang lain tertawa. Cerita ini bertujuan untuk menghibur orang lain. Contoh cerita jenaka, yaitu “Si Kabayan” dan “Pak Belalang”.

b. Mite
Mite adalah cerita fiksi yang tokoh-tokohnya dewa atau setengah dewa. Cerita dalam mite terjadi di dunia lain (biasanya khayangan) pada masa lampau. Contoh mite, yaitu “Kisah Ramayana” dan “Dewi Sri (Dewi Padi)”.

c. Fabel
Fabel adalah cerita dengan tokoh-tokohnya para hewan yang berperilaku seperti manusia. Contoh fabel, yaitu, “Kancil dan Siput” dan “Burung Pemalas”.

d. Legenda
Legenda adalah cerita fiksi yang menceritakan kisah zaman dahulu. Legenda menjadi cerita yang dipercayai Masyarakat setempat tentang sebuah peristiwa atau asal-usul sebuah tempat. Contoh legenda, yaitu “Terjadinya Danau Toba” dan “Kisah Sangkuriang”.

e. Saga
Saga adalah cerita fiksi yang mengandung unsur kepahlawanan. Saga menceritakan keberanian atau kepahlawanan seseorang. Contoh saga, yaitu “Calon Arang” dan “Air Langga”.

f. Cerpen
Cerpen atau cerita pendek adalah cerita fiksi yang mengisahkan kehidupan seseorang. Cerita dalam cerpen berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Contoh cerpen, yaitu “Sepotong Kue untuk Ibu” dan “Surat Pos dari Surga”.

g. Novel
Novel adalah cerita fiksi berupa karangan yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang lain yang berada di sekelilingnya. Contoh novel, yaitu “Laskar Pelangi” dan “Ronggeng Dukuh Paruk”.

3. Unsur-Unsur Pada Teks Cerita Fiksi

Sama seperti jenis teks yang lain, cerita fiksi juga memiliki unsur-unsur, yakni unsur yang ada dalam teks dan unsur ekstrinsik yang berasal dari luar teks itu sendiri, yaitu:
a. Tema, gagasan umum yang mendukung suatu karya sastra dan terkandung dalam teks.

b. Tokoh, yaitu pelaku karya sastra. Dari segi peran, karya sastra dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tokoh utama dan tokoh pendukung.

c. Alur cerita adalah jalan cerita yang memuat rangkaian peristiwa. Namun, setiap peristiwa hanya dihubungkan oleh sebab dan akibat, terjadinya suatu peristiwa, atau terjadinya yang lain.

d. Konflik, atau peristiwa yang dianggap penting, merupakan unsur yang sangat diperlukan dalam pengembangan plot.

e. Klimaks, konflik mencapai intensitas tertinggi dan tak terelakkan.

f. Setting, yaitu tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat berlangsungnya peristiwa yang dikisahkan.

g. Penokohan, pengarang terhadap masalah karya sastra.

h. Perspektif, cara pandang pengarang sebagai sarana untuk menyajikan kepada pembaca tokoh, alur, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita suatu karya fiksi.

i. Karakteristik, yaitu metode untuk mengekspresikan karakter.

4. Unsur Ekstrinsik Cerita Fiksi

a. Keadaan subjektif individu pengarang yang memiliki sikap Keyakinan.

b. Pandangan hidup yang mempengaruhi karyanya.

c. Psikologi juga mempengaruhi karya sastra, baik berupa psikologi otoritatif, seperti ekonomi, politik, maupun sosialisme.

d. Pandangan hidup.

e. Berbagai karya seni lainnya yang saling berkaitan.

5. Struktur Teks Cerita Fiksi

Struktur cerita pendek, tidak jauh berbeda dengan struktur teks cerita fiksi. Struktur cerita fiksi terdiri dari enam struktur, yaitu:
a. Orientasi meliputi subjek, latar belakang subjek, pengenalan tokoh, awal, dan penjelasan cerita fiksi novel.

b. Kompleksitas adalah klimaks dari teks cerita fiksi, karena berbagai masalah mulai muncul di bagian ini, dan kompleksitas novel biasanya menjadi daya pembaca.

c. Rating adalah bagian dari teks novel yang berisi pemecahan suatu masalah atau pembangkitan suatu pembahasan tentang pemecahannya.

d. Pemecahan adalah bagian yang mencakup pemecahan masalah inti yang dihadapi dalam cerita.

e. Koda (Reorientasi) berisi Penokohan dan pesan moral positif yang dapat digali dari naskah teks teks.

D. DRAMA

Drama adalah genre atau jenis karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia. Drama dalam KBBI adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku atau acting atau dialog yang dipentaskan. Kisah dan cerita drama dalam drama memuat konflik dan emosi yang secara khusus di tunjukkan untuk pementasan teater. Sedangkan menurut ahli Seni Handayani, drama adalah komposisi dari dua cabang seni, yaitu sastra dan pertunjukan yang akan membagi drama menjadi dua bentuk, yaitu drama teks tertulis dan drama yang dipentaskan.

a. Ciri-Ciri Drama

1. Seluruh kisah dalam cerita drama disampaikan dalam bentuk dialog, baik dialog antartokoh maupun dialog tokoh dengan dirinya sendiri (monolog).

2. Drama harus memiliki tokoh atau karakter yang diperankan oleh manusia, wayang, atau boneka.

3. Dalam drama harus terdapat konflik atau ketegangan yang menjadi inti dari cerita drama.

4. Durasi waktu pementasan drama dapat berlangsung selama sekitar tiga jam.

5. Pementasan drama biasanya dilakukan di atas panggung yang telah dilengkapi beberapa perlengkapan dan peralatan untuk menghidupkan suasana.

6. Pertunjukan drama selalu dilakukan dihadapan penonton di mana drama tersebut dilakukan sebagai sarana hiburan.

b. Unsur-Unsur Drama

1. Tema, yaitu gagasan utama atau ide pokok yang terdapat dalam cerita drama.

2. Alur, yaitu jalan cerita dari sebuah drama, mulai babak awal hingga babak akhir.

3. Tokoh, yaitu karakter dalam drama yang terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu.

4. Watak, yaitu tingkah laku para tokoh yang ada dalam drama; watak baik (protagonis) dan watak jahat (antagonis).

5. Latar, yaitu gambaran mengenai tempat, waktu, dan situasi yang terjadi dalam drama.

6. Amanat, yaitu pesan yang ingin disampaikan pengarang drama kepada penonton melalui cerita drama.

c. Struktur Drama

1. Babak atau episode, yaitu bagian dari naskah drama yang merangkum peristiwa di suatu tempat dengan urutan waktu tertentu.

2. Adegan, yaitu bagian dari drama yang menunjukkan terjadinya perubahan peristiwa, ditandai dengan terjadinya pergantian setting waktu, tempat, dan tokoh.

3. Dialog, yaitu percakapan yang dilakukan oleh dua atau beberapa tokoh dalam drama. Dialog merupakan hal utama yang membedakan drama dengan karya sastra lainnya.

4. Prolog, yaitu kata pengantar akan masuk sebuah drama yang memberikan gambaran umum tentang pertunjukan yang bakal dipentaskan.

5. Epilog, yaitu bagian akhir dari sebuah drama di mana isinya menjelaskan kesimpulan, makna, dan pesan dari drama yang dipentaskan.

d. Jenis-Jenis Drama

Terdapat beberapa macam drama yang terbagi menurut karakteristik tertentu, yaitu:

● Drama berdasar penyajian tokoh

1. Tragedi, penuh dengan kesedihan.

2. Komedi, penuh dengan hal-hal yang lucu.

3. Tragekomedi, sebuah perpaduan antara komedi dan tragedi.

4. Melodrama, dialog yang diucapkan diiringi melodi atau drama.

5. Opera, drama yang dialognya dinyanyikan dan diiringi dengan musik.

6. Farce, menyerupai dagelan, namun tidak sepenuhnya berupa dagelan.

7. Tablo, drama yang mengedepankan unsur gerak di mana para pemainnya tidak mengucap dialog sama sekali, namun hanya melakukan tertentu.

8. Sendratari, yaitu gabungan antara seni drama dengan seni tari.

● Drama berdasar sarana pentas

1. Drama panggung, dimainkan oleh seseorang di atas panggung.

2. Drama radio, jenis drama yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba, namun hanya dapat didengarkan.

3. Drama televisi, sama dengan drama panggung hanya saja tidak dapat diraba langsung.

4. Drama film, memanfaatkan sebuah layer lebar dan dapat pula dipertontonkan di bioskop.

5. Drama wayang, diiringi dengan sebuah pegelaran wayang.

6. Drama boneka, di mana para tokoh dalam sebuah drama itu digambarkan melalui penggunaan sarana boneka yang dimainkan oleh beberapa orang sebagai pemain dalam drama.

● Drama berdasar ada atau tidak naskah

1. Drama tradisional, tidak ada naskah.

2. Drama modern, tontonan drama yang menggunakan naskah.

Jadi, kesimpulannya adalah Penyampaian materi sastra di sekolah dasar penting untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam karya sastra seperti puisi, drama, cerita fiksi. Siswa juga ditempatkan sebagai pusat dari lingkungan pembelajaran bahasa dan sastra, serta mengembangkan pengalaman dan pengetahuan. Tujuan pembelajaran sastra di kelas dasar adalah meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra pada anak-anak agar mereka dapat mengembangkan kebijaksanaan dan keterampilan menafsirkan serta mengarang cerita. Guru harus menyajikan materi sastra dengan penuh apresiasi dan kreativitas.

Itu saja dan terima kasih, semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb. 🙏🏻

Komentar

Postingan Populer