RESUME MATERI RUJUKAN UTAMA DOKTRIN ISLAM - PENDIDIKAN AGAMA KELAS 1F PGSD UHAMKA 2023 - ISTIANA KHOIRUNNISA (2301025125)


RUJUKAN UTAMA DOKTRIN ISLAM


Pengertian Islam

Islam dalam bahasa Arab merupakan mashdar dari kata aslama-yuslimu-islaaman, yang artinya taat, tunduk, patuh, berserah diri kepada Allah. Sedangkan jika dilihat dari asal katanya, Islam berasal dari kata assalmu, aslama, istaslama, saliim, dan salaam. Masing masing kata tersebut memiliki arti sebagai berikut:

1). Assalmu artinya damai, perdamaian. Maksudnya, Islam adalah agama yang damai dan setiap muslim hendaknya menjaga perdamaian.

2). Aslama artinya taat, berserah diri. Maksudnya seorang muslim hendaknya berserah diri pada Allah dan mengikuti ajaran Islam dengan taat.

3). Istaslama artinya berserah diri.

4). Saliim artinya bersih dan suci. Maksud dari kata ini merupakan gambaran dari hati seorang muslim yang bersih, suci, jauh dari sifat syirik atau menyekutukan Allah.

5). Salaam artinya selamat, keselamatan. Islam adalah agama yang penuh keselamatan. Jika seorang muslim menjalankan ajaran Islam dengan baik, maka Allah akan menyelamatkannya baik di dunia maupun akhirat.

Dalam Al-Qur'an sendiri, kata Islam sebagai agama disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 3, yang artinya: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu."

Selain itu, surat Ali Imran ayat 9 juga menyebutkan agama Islam, yang artinya: "Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam."

Hal tersebut bisa di simpulkan bahwa islam membuat orang yang memeluknya berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya. Sumber-Sumber Pokok Hukum Islam.

Alquran dan as-Sunnah adalah dua sumber utama ajaran Islam, yang mana keduanya merupakan wahyu Allah SWT, sehingga diantara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Setiap orang Islam harus mencintai dan berpegang teguh pada keduanya, dengan demikian dia akan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti sabda Rasul SAW, sebagai berikut: Aku tinggalkan dua perkara pada kalian, jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. (As-Suyuthi, 2006).

Tradisi Islam Tradisi (bahasa Latin: traditio, artinya diteruskan) menurut artian bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Biasanya tradisi ini berlaku secara turun temurun baik melalui informasi lisan berupa cerita, atau informasi tulisan berupa kitab-kitab kuno atau juga yang terdapat pada catatan prasasti-prasasti (Ichsan dkk., 2020). Tradisi merupakan kekayaan lokal yang dimiliki oleh bangsa (Rofiq, 2019). Tradisi merupakan sebuah persoalan dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana tradisi tersebut terbentuk. Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh muhaimin tentang istilah tradisi di maknai sebagai pengatahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengatahuan yang telah diwariskan secara turun-temurun (Muhaimin AG, 2001).

Pada dasarnya, Islam itu agama. Islam bukan budaya dan bukan tradisi. Akan tetapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan tidak anti tradisi (Suryo, 2000). Dalam menyikapi budaya dan tradisi yang berkembang di luar Islam, Islam akan menyikapinya dengan bijaksana, korektif dan selektif (Umar, 2020). Ketika sebuah tradisi dan budaya tidak bertentangan dengan agama, maka Islam akan mengakui dan melestarikannya. Tetapi, ketika suatu tradisi dan budaya bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka Islam akan memberikan beberapa solusi, seperti menghapus budaya tersebut, atau melakukan islamisasi dan atau meminimalisir kadar mafsadah dan madharat budaya tersebut. Namun ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi bagian yang integral dari syari’ah Islam. 

Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum salaf yang dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).

Tradisi menurut al-Qur’an. Allah subhanahu wata’ala berfirma: 
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf: 199). 

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi asallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik (Abidin, 2009). Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (2004). berkata: Urf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan mereka jadikan tradisi dalam interaksi di antara mereka. Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata: Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat. Penafsiran ‘urf dengan tradisi yang baik dan telah dikenal masyarakat dalam ayat di atas, juga sejalan dengan pernyataan para ulama ahli tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata dalam tafsirnya: Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.

Al-Imam Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i juga berkata: Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap perbuatan yang telah dikenal baik oleh syara’ dan dibolehkannya (Ansori, 2015) . Karena hal tersebut termasuk sifat pemaaf yang ringan dan mulia.

Oleh karena yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-Imam al-Sya’rani berkata: Di antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah meridhai mereka, adalah penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan, sebelum mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi (Setiyawan, 2012). Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah. Allah SWT berfirman: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raf: 199). 

Paparan di aras memberikan kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari syari’ah (aturan agama), yang harus dijadikan pertimbangan dalam setiap tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an di atas.” 

Tradisi Dalam Sunnah

Dalam hadits diterangkan: Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia. (HR. Ahmad, 8939), Ibnu Sa’ad (1/192), al-Baihaqi (20571-20572), al-Dailami (2098), dan dishahihkan oleh al-Hakim sesuai dengan syarat Muslim (2/670, 4221). Dalam banyak tradisi, seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah, persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh (bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah. Demikian diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Islam juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan: Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu berkata: Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim, 1732). 

Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka. Oleh karena itu dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda: Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi SAW bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka. (HR. al-Bukhari, 2581). Dalam riwayat lain disebutkan: Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak mengajakku pada hari ini terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, dan tidak mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan mereka. (HR. Ibnu Abi Syaibah, 36855).

Hadits di atas memberikan penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum Musrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi. Bahkan mengapresiasi tradisi yang dapat membawa pada kebaikan. 

Tradisi Menurut Sahabat

Perhatian Islam terhadap tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Abdullah bin Mas’ud berkata: Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah. (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim). Menjaga tradisi, berarti menjaga kebersamaan. Melanggar tradisi dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat. Demikian ini sebagaimana kita dapati dalam interaksi para sahabat dan ulama salaf dengan trasidi. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan: Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)



RUJUKAN UTAMA DOKTRIN ISLAM


Mengenai pengertian Al-Qur'an ini cukup banyak dan berbeda-beda dalam pengungkapannya. Ada yang menambahnya dengan keterangan membacanya menjadi ibadah, dan ada pula yang menambahnya dengan keterangan yang di riwayatkan dari Nabi Saw secara mutawatir. Sebagian ulama ada yang menambahnya dengan kata-kata yang mengandung mu 'jizat. Tetapi, pada prinsipnya terdapat persamaan mengenai pengertian AJ-Qur'an, yaitu KalamuJlah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pengertian tersebut, sejalan. Dengan apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, AI-Qur'an adalah firman Tuhan (Allah SWT)

Kata-kata “Sumber Hukum Islam” merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir alAhkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah se-arti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah. Dan yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf).

Sumber hukum Islam adalah wahyu Allah SWT yang dituangkan di dalam AI-Qur'an dan Sunnah Rasul. jika kita telah ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan hukum, ternyata ayat ayat yang menunjukkan hukum-hukum yang agak terperinci hanyalah mengenai hukum ibadat dan hukum keluarga. Adapun hukum-hukum dalam arti luas, seperti masalah kebendaan, ekonomi, perjanjian, kenegaraan, tata negara dan hubungan internasional, pada umumnya hanya merupakan pedoman-pedoman dan garis besar.

Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan pada Muhammad SAW sebagai bukti kerasulan, dan keutamaan beliau adalah memberikan penjelasan berupa hadits-hadits yang menjelaskan ayat. Jadilah al-Qur’an dan hadits dua pegangan utama umat Islam untuk menjalani hidup, agar mendapatkan berkah dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. 

Sumber hukum Islam yang disepakati ulama ada empat yaitu :

1. Al-Qur’an
Al Quran secara bahasa berasal dari kata qara'a berarti bacaan atau dibaca. Secara istilah, Al-Quran merupakan firman Allah SWT, yang merupakan mukjizat yang diwahyukan kepada baginda Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril yang diriwayatkan dengan cara mutawatir. Al-Quran merupakan sumber hukum Islam pertama dan utama dalam menghukumi persoalan dalam kehidupan. 

2. Hadis
Hadis secara bahasa artinya berita atau sesuatu yang baru, sedangkan menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, maupun taqrir yang dilakukan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, hadis terbagi tiga yaitu hadis qauliyah, Fi'liyah dan taqririyah, sementara itu ada yang berpendapat hadis hammiyah termasuk kategori hadis.

3. Ijma'
Ijma merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al Quran dan Hadis. Ijma merupakan kesepakatan para mujtahid dalam memutuskan suatu masalah sesudah Rasulullah SAW wafat pada suatu peristiwa. Ijma merupakan salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (Al-Qur'an dan Hadits). Ijma' merupakan dalil pertama setelah Al-Qur'an dan Hadits, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara.

4. Qiyas
Sumber hukum Islam keempat yakni Qiyas. Arti Qiyas yakni menetapkan hukum atas suatu kejadian yang tidak ada dasar nash dengan cara membandingkan kepada suatu kejadian lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian tersebut. Jumhur ulama mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al-Quran, hadits, pendapat maupun ijma ulama.

Al-quran juga membahas aturan-aturan bagi individu dan masyarakat dan merupakan sumber paling utama hukum Islam atau syariat. Selanjutnya, Alquran secara terus-menerus mengulang-ulang pesan-pesan etika, baik dan buruk, dan pentingnya menjalani kehidupan yang bermoral dan terhormat.

Sistem Syariat Islam adalah sebuah sistem hukum yang didasarkan pada ajaran Islam dan berfungsi sebagai panduan bagi umat Muslim dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sistem ini mencakup berbagai aspek kehidupan seperti agama, sosial, politik, ekonomi, dan budaya Sistem Syariat Islam berdasarkan pada prinsip prinsip yang diambil dari Al-Quran dan Hadis, serta ijtihad atau interpretasi ulama yang dilakukan dalam konteks zaman dan tempat tertentu. Sistem ini berbeda dengan sistem hukum sekuler atau non-Islam yang mengambil sumber hukum dari berbagai sumber seperti hukum adat, hukum positif, dan lain-lain.

1. Pengertian Al-Qur'an

Mengenai pengertian Al-Qur'an ini cukup banyak dan berbeda- beda dalam pengungkapannya. Ada yang menambahnya dengan keterangan membacanya menjadi ibadah, dan ada pula yang menambahnya dengan keterangan yang diriwayatkan dari Nabi Saw secara mutawatir. Sebagian ulama ada yang menambahnya dengan kata-kata yang mengandung mu'jizat. Tetapi, pada prinsipnya terdapat persamaan mengenai pengertian Al-Qur'an, yaitu Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pengertian tersebut, sejalan. dengan apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, AI- Qur'an adalah firman Tuhan (Allah SWT) (1994:32).

Kata AI-Qur'an secara lughawi, merupakan bentuk kata yang muradif dengan kata Al-Qira'ah, yaitu bentuk mashdar darifi 'if madhi 'qara 'a·, yang berarti bacaan. Arti qara 'a lainnya ialah mengumpulkan atau menghimpun, menghimpun huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Sedangkan arti qara'a dalam arti mashdar.(infinitif) seperti di atas, disebut dalam firman AIlah SWT surat AI-Qiyamah, ayat 17-18 yang artinya: Sesungguhnya alas tanggungan kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah se!esai membacanya maka ikutilah bacaannya.

2. Turunnya Al-Qur'an

Kitab suci Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw, lebih kurang selama 23 tahun. Terbagi dalam surat-surat yang semuanya berjumlah 114, dengan panjang yang sangat beragam. Ayat-ayat dari surat-surat yang terdahulu mengandung momen psikologis meminjam istilah Fazlur Rahman-- yang dalam dan kuat luar biasa, serta memiliki sifat-sifat seperti ledakan vulkanis yang disingkat tapi kuat. Surat-surat Makiyyah adalah yang paling awal, dan termasuk surat-surat pendek. Baru pada surat-surat Madaniyyah, makin lama surat-surat tersebut makin panjang.

Tujuan Al-Qur'an diturunkan adalah untuk menegakkan tata masyarakat yang adil berdasarkan etika. Tujuan ini sejalan dengan semangat dasar Al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman (1994:34), yaitu semangat moral, yang menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Quraish Shihab mengemukakan tujuan dari Al-Qur'an diturunkan yakni sebagai berikut:

a. Untuk membersihkan aka] dan menyucikan jiwa dari bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempuma bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.

b. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah SWT dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.

c. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian, manusia, kesatuan kernerdekaan dan determinasi, kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu keesaan, yaitu keesaan Allah SWT.

d. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bemegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.

e. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial ekonomi, politik, dan juga agama.

f. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia.

g. Untuk memberi jalan tengah antar falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummat wassathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran.

h. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi. Guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi (1996: 12-13)

3. Pengertian Sumber Hukum Islam

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Kata ‘sumber’ dalam hukum fiqh adalah terjemah dari lafadz ر م - صادر م, lafadz tersebut terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan dalil  ( يل دل ال ) atau lengkapnya “adillah syar’iyyah” ( ية عرش ال ة دل األ ) Sedangkan dalam literatur klasik, biasanya yang digunakan adalah kata dalil atau adillah syar’iyyah, dan tidak pernah kata “ mashadir al-ahkam al syar’iyyah ” ( ةرش ال كام ح األ صادر م ) Mereka yang menggunakan kata mashadir sebagai ganti al-adillah beranggapan bahwa kedua kata tersebut memiliki arti yang sama.

Berikut 2 pembahasan sumber utama hukum, yaitu:

A. Al-quran

Kata Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata Qara'a artinya ' membaca. Bentuk mashdarnya artinya ' bacaan' dan 'apa yang tertulis padanya'. Seperti tertuang dalam ayat Al-Qur'an : - Secara istilah Alqur'an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, bila membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas Al-Jurjani mendefinisikan Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah tertulis dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan tidak diragukan. Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an, meliputi :

(a).Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada hari akhirat.

(b). Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk.

(c).Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua; mengenai Ibadah dan mengenai muamalah dalam arti yang luas. Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal al-Syakhsyiyah / ihwal perorangan atau keluarga. disebut lebih terperinci dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya

B. As-Sunnah

Sunnah secara bahasa berarti ' cara yang dibiasakan' atau ' cara yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti: = dekat, = baru, = berita. Dari arti-arti di atas maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar, seperti dalam firman Allah Secara Istilah menurut ulama ushul fiqh adalah semua yang bersumber dari Nabi saw, selain Al-Qur'an baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Adapun Hubungan Al-Sunnah dengan Alqur'an dilihat dari sisi materi hukum yang terkandung di dalamnya sebagai berikut :

a. Muaqqid Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Al-Qur'an dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang Shalat, zakat terdapat dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh Al-sunnah.

b. Bayan Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an yang belum jelas, dalam hal ini ada tiga hal :

(1). Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih mujmal, misalnya perintah shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan shaum. Dalam Shalat misalnya.

(2). Membatasi kemutlakan ( taqyid al-muthlaq) Misalnya: Al-Qur'an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya. Kemudian Al-Sunnah membatasinya.

(3). Mentakhshishkan keumuman, Misalnya: Al-Qur’an mengharamkan tentang bangkai, darah dan daging babi, kemudian al-Sunnah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.

(4). menciptakan hukum baru. Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.

Berdasarkan penelitian menurut Abdul Wahab Khalaf telah ditetapkan bahwa dalil syara’ yang menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, as-sunah, ijma dan qiyas. Dan jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal ini dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

1. al-Quran
2. assunah
3. ijma
4. qiyas.

Yakni bila ditemukan suatu kejadian, pertama kali dicari hukumnya dalam al-Quran, dan bila hukumnya ditemukan maka harus dilaksanakan. Bila dalam al-Quran tidak ditemukan maka harus dicari ke dalam sunah. Bila dalam sunah juga tidak ditemukan maka harus dilihat, apakah para mujtahid telah sepakat tentang hukum dari kejadian tersebut, dan bila tidak ditemukan juga, maka harus berijtihad mengenai hukum atas kejadian itu dengan mengkiaskan kepada hukum yang memiliki nash. 

4. Sistem Syariah Al-Qur'an

Berdasarkan doktrin Islam, syariah bersumber dari Allah SWT yang disampaikan Allah SWT kepada manusia dengan perantaraan Rasul-Nya (Taufiqullah, J 991 :47). Mengenai arti syariah dapat ditemukan Iangsung dalam firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut: "Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) menjalani syariah (hukum) dalam seliap urusan, maka turutilah ketentuan itu, dan jangankah engkau turuti keinginan orang-orang yang tidak tahu "(QS AI-Jatsiyah:18). 

Oleh karena hukum Allah dan perundang-undangan yang datang dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha sempuma, maka pasti pula hukum dan perundang-undangan-Nya sempuma pula. Pencipta perundang-undangan itu berkehendak agar manusia teratur dan tertib dalam kehidupannya. Ini dimaksudkan semata-mata untuk kebahagiaan lahir batin manusia. Tanpa meremehkan rasio manusia, tetapi pada kenyataannya karya-karya manusia terlalu nisbi.

Berikut ini dikemukakan ciri-ciri syariah AI-Qur'an yang dikemukakan Taufiqullah (1991:48) yaitu sebagai berikut:

a. AI-Qur'an memberikan prinsip-prinsip umum tanpa mendetail dalam hal-hal yang mengatur ketergantungan manusia sesamanya dan antar manusia dengan alam, sehingga menjadikan fleksibelnya ajaran Islam untuk menuntun manusia yang hidup dalam berbagai ras dan bangsa serta sepanjang masa. Prinsip yang merupakan keharusan bagi suatu ajaran yang bersifat universal dan eternal (abadi).

b. AI-Qur'an mengadakan peraturan-peraturan terperinci dalam hal-hal yang tidak terpengaruh oleh perkembangan masyarakat manusia. Misalnya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum waris, wudu, dan tayamum. 

Selanjutnya, mengenai prinsip syariah Al-Qur'an, Taufiqullah (1991:49), mengemukakan sebagai berikut:

a. Tidak memberatkan. Dasamya ialah finnan Allah SWT sebagai berikut: Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS AI-Baqarah:286). Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini agar kamu menjadikan susah (QS Thoha:2). Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tiada menghendaki kesukaran (QS AI-Baqarah: 185).

b. Sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci, yaitu memerintah dan melarang.

c. Syariah datang dengan prinsip graduasi (berangsur-angsur), bukan secara sekaligus.

Adapun mengenai macam-macam hukum dalam AI-Qur'an, disini dikemukakan bahwa hukum-hukum yang terkandung di dalam AI­ Qur'an itu ada 3 macam, yaitu:

1. Hukum-hukum i'tiqodah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

2. Hukum-hukum akhlak. Yakni tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela.

3. Hukurn-hukurn arnaliah. Yakni yang bersangkutan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian- perjanjian dan muamalah (kerjasama) sesama manusia.

Adapun tentang hukum-hukum amaliah di dalam AI-Qur'an terbagi menjadi dua macam, yakni:

a. Hukum ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini diadakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.

b. Hukum-hukum muamalat, seperti segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, hukum pidana dan sanksi-sanksi (jinayat dan uqubat). Hukum-hukum ini diadakan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai anggota masyarakat.

Selanjutnya, ditinjau dari segi penunjukkannya (dalalah-nya) terhadap hukum-hukum, nash-nash dalam Al-Qur'an terbagi kepada dua macam, yaitu:

a. Qath 'iy al-dalalah, yakni nash yang menunjukkan kepada arti yang jelas sekali, hingga nash itu tidak dapat dita'wilkan dan dipahami dengan arti yang lain.

b. Dhanniy al-dalalah, yakni nash yang menunjukkan kepada arti yang masih dapat dita'wilkan atau dialihkan kepada arti yang lain. 

Komentar