RESUME MATERI Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya - PENDIDIKAN AGAMA KELAS 1F PGSD UHAMKA 2023 - ISTIANA KHOIRUNNISA (2301025125)


BAGIAN PERTAMA

BAB I
DINAMIKA TASAWUF 

A. Munculnya Tasawuf

1.  Dikhotomi Fikih-Tasawuf
Klaim ini dikuatkan oleh fakta sejarah yang menyatakan bahwa dalam masa ini muncul nama-nama besar yang mulai tergerak untuk menulis tentang tasawuf semisal al-Muhasibi (w. 243 H), al-Kharraz (w. 277 H), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H) dan al-Junayd (w. 297 H).(al-Taftâzânî, 1991, hal. 95). Upaya perumusan  epistema ini menjadikan  tasawuf  tidak  lagi  identik  sebagai  pengejawantahan sikap keberagamaan, namun beralih menjadi sebuah disiplin ilmu yang memuat sejumlah teori dan banyaknya terma-terma sufistik yang tersebar. Tasawuf yang sebelumnya punya kecenderungan elastis, tidak berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras dengan diskursus keagamaan lainnya seperti tafsir, tetapi dalam abad 3 H. (masa kematangan tasawuf) justru terkesan kaku dan mengambil jarak yang ironisnya diakibatkan oleh kemandirian tasawuf itu sendiri.

Dalam kelompok teolog yang meyakini idealitas paradigma pertama terdapat nama-nama besar seperti Ma`ruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulayman al-Darani (w. 215 H) dan Dzu al-Nun al- Mishriy (w. 245 H). Dari nama-nama tenar inilah terlahir sebuah rumusan ideal tentang tasawuf Islam. Rumusan yang juga didengungkan oleh al-Harits ibn Asad al-Muhasibi (w. 243 H). Bagi mereka, tasawuf haruslah terbangun atas nilai-nilai normatif (syari`ah).  Pemahaman  yang  demikian  membuat  entitas tasawuf dalam  benak  mereka  adalah  ma`rifah, zuhd dan  perhatian  yang mendalam terhadap akhlak manusia (metode introspeksi, manhaj al-Istibthan) sebagai cermin dari kepribadiannya. Karena enggan terlepas jangkauan dimensi normatif, pemaknaan terhadap terma al- Fana‖ menurut  kalangan  ini  juga  harus  tunduk  kepada  otoritas syari`ah. Asumsi ini mengandaikan bahwa al-Fana‖ merupakan satu fase di mana manusia mampu terlepas otoritas manapun dan hanya menyisakan indoktrinasi Allah semata. Definisi terma al-Fana‖ beserta konsepsi-konsepsi tasawuf menjadi demikian matang dan bahkan terkesan semakin kompleks saat berada dalam sentuhan al- Junayd (w. 297 H), sekalipun merupakan penganut taat madzhab fiqh Abu Tsawr.

Diskursus  mendalam  terhadap  terma  al-Fana‖ inilah  yang memicu kentalnya nuansa-nuansa syathahat. Maraknya syathahat ternyata mampu mencuatkan kontroversi dan menjadi penyebab munculnya tuduhan atau stigma bahwa fase al-Fana‖ merupakan fase yang sangat rentan mengantarkan pelaku tasawuf dalam klaim inkarnasi (hulul) dan  al-Ittihad yang  menjadikannya  menabrak rambu-rambu syari`ah, seperti tuduhan Ibn Taymiah.  Semasa  dalam  fase  al-Fana‖, Abu  Yazid  al-Busthami melontarkan ucapan syathahatnya : " Inni Ana Allah La Ilaha illa Ana Fa`budni". Dalam benak Ibn Taymiah, fase al-Fana‖-nya al- Busthami adalah fase yang gagal dengan menganggapnya sebagai sebuah  perilaku  sufistik  yang  tidak  layak  untuk  diikuti  karena mengesankan al-Ittihad. Tuduhan yang lebih menyakitkan mengatakan bahwa pernyataan al-Busthami ketika sedang berada dalam puncak  ekstase sesungguhnya merupakan gejala awal dari kemunculan terma wihdat al-Wujud (pantheism). 

Imbas  dari  intens  diskursus  al-Fana‖ adalah  munculnya sebuah terma asing yang menggoyahkan wilayah eksoteris. Terma dimaksud adalah al-Hulul yang pada akhirnya mengantarkan Abu al-Mughits al-Husayn ibn Manshur ibn Muhammad al-Baydhawi atau lebih dikenal dengan julukan al-Hallaj (301 H) kepada altar eksekusi. Tubuhnya disalib, tangan dan kakinya dipotong, lehernya ditebas dan bagian tubuh lainnya dibakar dan dilempar ke dalam Sungai Dajlah. Pada dasarnya, apa yang menimpa al-Hallaj merupakan kasus serupa yang menimpa al-Busthami. Kedua-duanya sama-sama memperoleh  ekstase dan menikmatinya serta tenggelam dalam al-Fana‖ dengan kesungguhan hati dan segenap perasaan sehingga terlahir dari alam bawah sadar mereka syathahat yang mengejutkan alam sadar para fuqaha'. Perbedaan fase al-Fana‖ diantara keduanya mungkin hanya terletak pada tataran kualitasnya saja. 

Dalam hal ini, kalau memang benar anggapan orientalias, bahwa al-Hallaj telah mendahului al-Ghazali dalam usahanya mempertemukan filsafat dengan agama (Islam). Dengan mendalam dan detail, al-Hallaj saat berada dalam fase al-Fana‖ mencoba  mendeskripsikan   relasi   manusia  dengan Tuhannya. Dengan tanpa sadar, dia menyatakan, sebagai bentuk deskripsinya, bahwa  Tuhan  telah  berinkarnasi  (tanasaukh, al-Hulul, menitis) dalam dirinya yang tertangkap dari pernyataannya, "Ana al-Haqq". Namun, tak jarang, dia meng-counter pendapatnya sendiri dengan menegasikan konsep  inkarnasi dan meyakininya sebagai satu hal yang paradoks dengan syari`ah. Berangkat dari inkonsistensi konsep inkarnasinya, banyak kalangan menilai bahwa inkarnasi yang ditawarkan al-Hallaj bukanlah inkarnasi dalam pengertian yang sesungguhnya, melainkan  sebagai keniscayaan  dari fase  al-Fana‖. Penilaian yang juga disampaikan oleh al-Taftazani dan membuatnya gagal dalam memandang tasawuf Islam sebagai sebuah gugusan epistemolgi, namun hanya menampilkannya dalam wajah historis yang kental. 

2. Makna Tasawuf 
Istilah sufi mulai dikenal pada abad II Hijriah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga  Abu  Hasyim  al-Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf  baru  muncul di dunia  Islam pada awal abad  III hijriah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang tokoh asal Persia. Tokoh  ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan  karena  faktor  pemberian  (mawhibah) dan  keutamaan dariNya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran- kebenaran  hakiki. Tesis  ini kemudian menjadi suatu asas  dalam perkembangan  tasawuf  di  dunia  Islam.  Beberapa  tokoh  lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H). 

Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad IV H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali menegaskan tasawuf atau hubb Allah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad 4 dan 5 H. hijriah inilah konflik pemikiran terjadiantara kaum sufi dan para fuqaha‖. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin  spiritual  yang  dikembangkannya  dipandang  oleh  para fuqaha‖ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari‖at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh - tokohnya seperti Ibn al-‖Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad 4 H. Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam  dunia  tasawuf,  yaitu  antara  tasawuf  ―amali  (praktis)  dan tasawuf nadzari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur‖an dan al-Hadits secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara  ahwal dan maqamat. Sedangkan  tasawuf  teoritis  atau  juga  disebut  tasawuf falsafi cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan. 

Diantara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid al- Baghdadi  (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu  Thalib  al- Makki (386/996), al-Qusyaeri (465/1073), dan al-Ghazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu  Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dan Ibn ―Arabi.

Pendekatan historis kemudian mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua tingkatan, yaitu: tasawuf sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim, dan tasawuf yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada penyebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti  Abu  Dzar  al-Ghifari, Sa‖id bin  Zubair,  ―Abd  Allah bin ―Umar   sebagai  bentuk  ―protes‖  dari  perilaku  hedonistik   yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.

B. Tasawuf Syar’i 
Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi aliran (mazhab); dan sejauh tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif.  Tasawuf ijabi atau yang dibenarkan oleh syara‖ mempunyai  dua  corak.  Pertama,  tasawuf akhlaqi, yakni  yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual. Kedua, tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman   dan   pengamalannya.   Perbedaan   mendasar  antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari‖ah. Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh paham gnostisisme Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk   tasawuf   Islam,  ada   yang   menyebutkannya   dari kebiasaan  rahib  Kristen  yang  menjauhi  dunia  dan  kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna  mendekatkan  diri kepada  Allah  dan  menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan  kehidupan  materi dengan  memasuki dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari Dzat Allah dan kemudian akan kembali kepadaNya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Allah, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi. 

Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat; (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering  dari aspek  moral-spiritual; (3) katalisator yang  sejuk  dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan. Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktik-praktik yang berlumuran darah. Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi SAW.   Tasawuf   Islam  sebagaimana   terlihat   melalui praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktik kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. 

Jalan  spiritual  yang  ditempuh  para  sufi  tidaklah  mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi  satu  dengan  lainnya  sering  terdapat  perbedaan  pendapat. Station ini antara lain: (1) taubat; (2) zuhud; (3) sabar; (4) tawakkal; (5) ridha; (6) mahabbah; (7) ma‖rifah  fana‖; (9) ittihad; (10) hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya  ahwal,  state). 

Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: (1) muraqabah; (2) khauf; (3) raja‖; (4) Syauq; (5) Uns; (6) tuma‖ninah; (7) musyahadah (yakin). Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 bersabda, ―Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa‖. 

Dalam   wacana   kesufian,   takhalli   ―an   al-Radzail   atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi  diri  dengan   sifat-sifat   luhur  adalah   tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli. Jadi tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat. Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma agama. 

C. Perkembangan Tasawuf 
Modernitas  telah  mengimplikasikan  adanya kekosongan atau keterasingan dari dimensi spiritualitas. Modernitas yang memang dibangun dari penolakan terhadap spiritualitas mulai tampak dipertanyakan kembali. Di masa kontemporer sekarang ini, ketika   godaan  kekayaan  materiil   demikian  dominan,  bahkan ―kesalehan agama‖ pun kerap kali hanya menjadi salah satu instrumen atau sekedar ―jubah‖ asesoris bagi keunggulan dan kesuksesan  hidup  duniawi,  wacana  kehidupan  sufistik  tampak semakin relevan. Tasawuf, dengan pendidikan sufistiknya, masih dipercaya mampu menjadi alternatif solutif untuk mengantar manusia  menemukan jalan menuju keridhaan  Allah. Allah  telah menggariskan mengenai siapa sejatinya manusia yang sukses hidupnya di dunia ini, dan sebaliknya siapa yang gagal. Kata kuncinya terletak pada kesanggupan untuk memelihara jiwa agar tidak tergadai menjadi budak syahwat dengan melalaikan Allah. 

Ibn   al-Qayyim  menyatakan,   menafsirkan  ayat  tersebut, bahwa Allah menyifatkan manusia yang mati hatinya slaksana bangkai (mayyit). Adapun yang mampu menghidupkannya adalah roh makrifat, tauhid, ibadah, serta cintaNya. Sementara Nabi Muhammad  SAW juga menganalogikan  manusia yang lalai dari mengingat  Allah   dengan  hal  serupa,   yaitu   tak   lebih  halnya seonggok bangkai. 

Meskipun  demikian,  hal  yang  sesungguhnya  lebih  utama daripada pemaparan dalil-dalil argumentatif, yang normatif maupun rasional, tentang absahnya perilaku sufistik dalam kehidupan umat Islam, adalah penghayatannya secara  aktual dalam  praktik  hidup sehari-hari di masyarakat. Wahid Bakhsh Rabbani mengatakan bahwa Sufisme sesungguhnya adalah perkara pengalaman aktual atas realitas,  dan  bukannya  sesuatu  hal  yang  lantas  dapat  dipahami melalui sekedar penjelasan teoritis.

D. Dari Zuhud ke Tasawuf 

Komentar